Kafe Balai Kota

61 7 0
                                    

Lintasan tengah kota yang dilewati sedang ramai. Beberapa kali lewat mobil patwal polisi yang mengawal tamu kehormatan pemerintah. Jalan umum balai kota pun ramai dikunjungi orang dengan seketika.

Suara mobil patwal semakin keras dan jelas di telinga. Arahnya semakin mendekat melewati persimpangan kafe balai kota. Di mana tempat ini akan dijadikan tempat acara ulang tahun teman Cahyani.

Kondisi kafe memang terlihat ramai. Tapi tidak ada tanda-tanda sebuah acara yang bertemakan ulang tahun. Apalagi acara resmi yang didekorasi ala pergantian usia.

Halib pun tiba lebih awal. Kali ini tidak bersama Putra. Tapi datang sendiri-sendiri. Halib langsung mencari lokasi di dalam kafe dan duduk sembari menunggu Putra dan Cahyani.

"Wah sudah datang. Cepat sekali kamu, Halib?" Cahyani menghampiri.

"Kau tau kan, kalau aku tidak suka terlambat?" mereka berdua tertawa.

"Yang lain kok belum datang, ya?"

"Yang lain siapa, Cahyani? Kan tinggal Putra. Oh iya, yang ulang tahun siapa?"

Tak lama kemudian, Putra pun tiba di kafe dengan membawa bingkisan. Dia langsung bergabung bersama Halib dan Cahyani. Sudah lama mereka tidak kumpul bersama di kafe seperti ini.

Sejak Roy mendirikan komunitas baru kali ini akan makan bersama. Rasanya seperti reunian, padahal belum ada yang lulus kuliah. Tapi pertemuan kali ini masih ada yang kurang. Roy yang belum kelihatan. Tapi Halib dan Putra hanya diam tak berani menanyakan apakah Roy diundang atau tidak.

"Wah cantik sekali kamu, beb?" Cahyani mencium Arum yang datang menemui.

"Arum, ini teman-temanku. Ayo deh kenalan!"

Halib langsung berdiri. Tapi ditarik oleh Putra yang ingin lebih awal berkenalan. Halib tak mau kalah. Dia langsung menyodorkan tangganya sama Arum.

"Halo, aku Halib."

"Loh, kok rebutan mau kenalan aja," ujar Cahyani yang sudah tahu mata keranjang Halib dan Putra.

"Aku, Putra, mbak. Boleh dipanggil, beb kok," Arum tersenyum.

"Sudah lama menunggu. Maaf, ya. Tadi aku dikasih surprise dulu sama orang tuaku. Makanya terlambat. Maafin, ya."

"Yang ulang tahun Arum ini," Cahyani memberitahu.

Halib berbisik, "Dia cantik sekali. Ini untuk aku ya. Punya kau akan kucarikan nanti."

"Nggak mau. Aku mau yang ini juga," balasnya.

"Kalian nggak ucapin selamat, ya?" beber Cahyani.

Putra lebih dulu mengucapkan, "Selamat ulang tahun, Arum. Semoga kamu menjadi kekasihku. Eh salah. Maksudnya semoga menjadi lebih baik."

"Nah, itu Roy juga udah datang," Arum menunjuk ke arahnya.

Suasana langsung garing. Semua diam, kecuali Arum yang berbicara. Arum menyuruhnya duduk di antara Halin dan Putra. Sedangkan Cahyani di sampingnya.

Dia tak disapa sama Cahyani, Halib dan Putra. Mereka diam seperti tak pernah saling kenal. Roy mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ternyata yang dikeluarkan obor.

"Ini adalah lambang untuk menerangi hidup orang lain. Saat kita menyalakan di waktu gelap. Maka cahayani tidak hanya bermanfaat bagi kita. Tapi bermanfaat juga bagi orang sekitar kita."

"Selamat ulang tahun ke-20 Arum. Semoga menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain. Terutama bagi orang tuli."

Awalnya, mereka berpikir Roy mengejek Arum dengan obor. Karena tak biasa orang yang ulang tahun dikasih obor. Biasanya berbentuk kue yang dikasih lilin menandakan usia.

Arum terharu dengan perayaan ulang tahun yang diberikan Roy. Sangat sederhana. Tapi menyimpan seribu makna. Filosofi obor yang diucapkannya benar adanya.

"Terima kasih, Roy. Sudah 20 tahun usia saya. Tapi ulang tahun ke-20 ini yang paling bermakna. Sampai kapan pun aku akan mengingat filosofi obor ini."

"Ayo ditiup, dong. Kan kamu sudah berhasil menerangi orang lain."

Tepuk tangan pun menggema dari mereka semua, "Yeee, yeee, yeee."

"Aku boleh ngomong sesuatu, nggak?" tanya Arum.

Putra menjawab, "Boleh. Ini kan acara untuk kamu, beb. Eh salah lagi. Maksudnya Arum."

Suasana tetap aja garing. Tak ada guyonan yang disambungkan seperti biasanya ketika berkumpul.

"Aku punya satu harapan untuk kalian. Mungkin ini sederhana bagiku. Tapi bagi kalian aku nggak tahu seperti apa? Aku tahu kalian ini adalah empat bersahabat yang tak terpisahkan. Aku tahu semua tentang kalian. Tentang masa lalu dan masa kini persahabatan kalian."

Mereka diam dan menundukkan kepala. Persis seperti penjahat yang baru taubat diceramahi oleh ustadz. Tak ada yang berani saling pandang.

"Harapanku, kalian kembali baikan seperti biasanya. Masalah yang sudah lewat biar berlalu. Maafkan saja masa lalu kalian masing-masing. Meskipun itu mungkin berat untuk dilupakan."

"Aku hanya pendatang di antara kalian. Tapi dengan kalian ada. Maka hidupku terasa lebih sempurna dari biasanya. Aku bisa berbagi senyuman sama orang-orang tuli. Dan, itu sudah lebih dari cukup untuk kebahagiaanku."

"Apa kalian mau menerima harapan sederhanaku?" tanya Arum.

"Aku mau," Hanya Cahyani menjawab.

"Apa kalian mau menerima harapan sederhanaku?" tanya Arum lagi.

Tetap dijawab sendiri sama Cahyani. Arum kembali bertanya.

"Apa kalian mau menerima harapan sederhanaku?"

Dijawab serentak, "Iya, aku mau."

"Aku mau lihat kalian berempat pelukan. Boleh?"

Vote dan komen, ya. Terima kasih.

Malang Menyisakan CintaWhere stories live. Discover now