Why You - 23

7.3K 344 13
                                    

Typo!!

Haruna melambaikan tangan ketika mobil Arvon meninggalkan rumah Davian.

Setelah makan dan ke rumah sakit sebentar guna memeriksa keadaan Haruna, Arvon memutuskan mengantar Haruna pulang, agar gadis itu segera beristirahat.

Ia memasuki rumah, sedikit mengernyit ketika tidak ada lampu yang menyala, mungkin Davian belum pulang jika melihat suasana rumah yang gelap dan sepi.

Beruntung ia membawa kunci cadangan, kalau tidak dapat dipastikan jika dirinya akan berakhir menunggu Davian di teras.

Haruna meraba, mencari sakelar lampu, cukup sulit karena keadaan gelap, ingin menggunakan senter ponsel namun benda itu sudah mati dua puluh menit lalu. Masih berusaha mencari ketika lampu tiba-tiba menyala, menghasilkan cahaya menusuk ke retina matanya.

Secepat mungkin Haruna berbalik, lalu matanya menemukan Davian, disana di depannya berjarak sekitar tiga meter dengan tangan bersidekap serta tatapan tajam.

"Menikmati harimu, Miura!" tidak terdengar seperti pertanyaan melainkan seperti tuduhan.

Apakah pergi makan dan ke rumah sakit termasuk nikmat?

Namun segala hal yang ia lakukan akan selalu terlihat salah di mata Davian. Lelaki itu selalu melihatnya begitu. Tidakkah bisa lelaki itu mengabaikan dan menganggap Haruna tidak terlihat. Bukankah lebih baik jika begitu.

Dia bahkan selalu mengikuti serta mengerjakan perintah Davian tanpa banyak membantah, ya kecuali hal itu belum pernah ia kerjakan.

"Malam. Maaf aku pulang terlambat," ucap Haruna ketika melihat jam di dinding menujukan pukul delapan malam, sepertinya mengobrol dengan Arvon terlalu mengasyikkan sehingga membuat Haruna melupakan waktu. Kalau saja Arvon tidak menegur akan ke rumah sakit tentu mereka masih asik bercerita. "Apa kau sudah makan? Kalau belum biar aku masakan sesuatu?"

"Jangan sok peduli padaku jika seharian ini kau menghabiskan waktu bersama lelaki lain!"

Haruna was-was ketika Davian mendekatinya. Apalagi pria itu sudah mengeluarkan nada suara datarnya. Tapi rasa bingung melanda Haruna, dari mana lelaki itu tau jika dirinya pergi dengan lelaki yang lebih tepatnya Arvon. Bukankah Davian sibuk bersama tunangannya seharian ini.

Rasa berdenyut di rahangnya membuat Haruna tersadar jika tangan Davian mencengkram begitu kuat.

"Jawab aku, sialan! Kau tidak bisu bukan?!" suara itu meninggi.

"Davian, sa-kit!!" Haruna berucap susah payah. Ia sedikit lega karena cengkraman Davian sedikit melonggar.

"..."

"Aku hanya pergi makan dan ke rumah sakit bersama Arvon? Apa itu terdengar salah?" Haruna bersuara pada akhirnya. Namun ia tau, serinci apapun penjelasan yang ia berikan pada Davian, lelaki itu tidak akan mudah percaya.

"Salah! Kau ingat statusmu! Kau istriku, jadi sebaiknya lakukan tugasmu sebagai seorang istri!"

Hah! Apa Haruna harus bertepuk tangan seraya bersorak mendengar kata istri dari mulut lelaki ini. Apa seharusnya Haruna tersenyum. Tidak, jawabannya tidak. Ia akan tersenyum jika yang mengatakan itu adalah orang yang ia cintai dan orang yang mencintainya.

"Apa sekarang kau sudah mengakui jika aku adalah istrimu?"

"..."

"Seharusnya Anda abaikan saja saya. Bukankan itu yang selalu Anda katakan. Ikantan pernikahan ini tidak akan Anda akui tepat seperti kata Anda dulu. Bukankah urusan Anda bukan menjadi urusan saya, begitu juga sebaliknya! Sesuai apa yang tertulis pada perjanjian sepihak kita!" Haruna berkata formal seolah mereka sedang di lingkungan kantor. Tenang tanpa emosi hanya senyum miring yang ia tunjukkan.

"Oh, sekarang kau sudah bisa membela diri. Haruskah aku memberikan suatu hadiah untuk kata-kata barusan. Miura yang bisa bersuara terlihat lebih menarik!"

Haruna menatap Davian kesal, tangannya berusaha mendorong tubuh besar Davian namun lelaki itu lebih dulu menahan pinggangnya.

"Lepaskan aku!"

"Tidak semudah itu, Miura," bisik Davian. "Aku heran, apa yang sebenarnya dilihat oleh Arvon pada dirimu. Kau gadis lemah, iya. Kau buruk rupa, iya. Dan kau juga murahan, iya! Kau hanya gadis penuh kekurangan yang bermimpi menikahi penerus Jade Company dan mengeruk hartanya!"

Sakit. Hati Haruna sakit. Wajahnya sudah memerah menahan amarah, ia tau jika dirinya penuh dengan kekurangan tapi untuk mengeruk harta keluarga Jade tidak ada sama sekali, terlintas di pikiran Haruna pun tidak ada.

Menampar seseorang tidak berdosa 'kan?

"Kau ingin marah?!" tanya Davian saat Haruna menaikkan tangan guna menampar pria ini. "Untuk apa kau marah jika ini semua adalah fakta!"

Haruna bisa merasakan wajah Davian yang menyelusup ke lehernya. Seketika bulu Haruna meremang antara geli dan suatu rasa yang belum pernah ia rasakan.

Sekuat tenaga Haruna mendorong tubuh Davian namun tidak seinci pun pelukan lelaki itu melonggar.

Tubuh Haruna menegang kala Davian mengecup ringan lehernya selanjutnya Haruna merasakan hisapan kuat di sana. Tubuhnya mendadak melemah, wajahnya memanas, bibirnya hanya bungkam dan mata Haruna terpejam erat.

Sial! Sial! Kenapa selalu aroma ini yang membuatku lepas kontrol. Cherry teriak Davian dalam hati.

Sebelum semua menjadi lebih tidak terkontrol. Davian secepat mungkin melepaskan pelukan pada pinggang Haruna dan tubuh gadis itu meluruh ke lantai dengan mata tertutup erat serta wajah yang memerah, oh tidak lupa tubuh sedikit bergetar.

"Cih, murahan!!"

Lelaki itu pergi meninggalkan Haruna. Masih duduk di lantai.

.

.

.

Keesokan pagi Haruna terbangun kala mendengar suara dering ponselnya. Dengan enggan gadis itu bangun karena matanya masih terasa berat. Beruntung tubuhnya tidak terlalu sakit sehabis minum obat.

"Halo,"

"Haru. Kau baru bangun tidur?"

Suara dari seberang Haruna hapal. Itu Arvon.

"Ar, ini masih pagi," Haruna membalas dengan malas.

"Ini sudah pukul sembilan, darl. Apa kau akan bergelung di bawah selimut terus,"

Haruna terlonjak bangun. Pukul sembilan. Oh tidak, ia sudah terlambat berangkat ke ke kantor. Pasti ia bakalan di marahi lagi oleh Davian.

"Ya Tuhan aku terlambat ke kantor,"

"Hei, calm girl, ini hari sabtu. Kau tidak perlu takut terlambat,"

Haruna melihat kalender di atas meja, kemudian gadis itu bernapas lega.

"Kau membuat jantungku tidak sehat, Ar. Ada apa menelepon?" tanya Haruna sambil kembali merebahkan tubuhnya pada kasur.

Suara Arvon terkekeh di seberang, "jadi pergi 'kan?"

"Tentu. Selama di sini aku belum pernah jalan-jalan. Beruntung ada kau yang mau mengajakku. Mengharapkan Davian sampai panda punya tanduk tidak bakalan terkabul,"

Kali ini tawa renyah Arvon terdengar.
"Haha, abaikan saja sepupuku yang bodoh itu. Baiklah, aku akan menjemputmu pukul satu. Sampai jumpa nanti, Haru,"

Setelah itu sambungan telepon terputus.

Haruna mendesah. Kembali ia teringat perlakuan Davian semalam, membuat wajahnya memanas sekaligus kesal. Ia berharap pagi ini tidak bertemu Davian karena ia tidak bisa terus menahan emosi jika berdekatan dengan lelaki itu.

Dan harapan Haruna terkabul, karena saat ia turun hanya Lusy yang ia jumpai di dapur.

TBC

Hahah, di part sebelumnya dukungan buat Arvon - Haru ada beberapa orang.

Habisnya perlakuan Arvon manis banget ya. Nggak kayak Davi, cuma bikin Haru sebel ama sakit ati.

Why You? 🔚Where stories live. Discover now