Why You - 6

10.1K 460 5
                                    

Typo!!!

Haruna

Aku turun dari mobil Arvon saat kami sudah tiba didepan gerbang rumah Davian.

Senyumku tak pernah luntur akan keramahan dan kebaikan lelaki itu. Arvon orang yang menyenangkan, mudah bersahabat dan pandai dalam mengobrol.

"Terima kasih sudah mengantarku," ucapku saat sudah berdiri di samping mobil Arvon.

"Oke, aku tak masalah akan hal itu. Malah aku senang karena bisa berkenalan dengan istri Davian. Aku rasa dia salah tentang dirimu yang menyebalkan. Kau orang yang menyenangkan, Haruna,"

Aku berdecih dalam hati, ternyata seperti perkataan Arvon aku di mata lelaki brengsek itu. Tapi tak apa, karena malam ini aku cukup banyak mengobrol dengan Arvon, sedikit mengobati rasa kesalku pada Davian.

"Haha," aku tertawa kecil. "Davian mungkin hanya bercanda."

Aku merutuki mulutku dalam hati karena bisa-bisanya berbicara seperti itu.

Arvon tersenyum ramah, "ah, sebaiknya aku pulang. Sampaikan salamku untuk Davian ya."

Aku mengangguk, "hati-hati." Pesanku.

Kemudian Arvon berlalu dengan mobilnya.

Aku menghela napas sejenak. Pikiranku langsung tertuju pada Mirai dan Lawrence, "semoga mereka baik-baik saja," gumanku.

Lalu berjalan masuk melewati gerbang. Saat sudah mencapai pintu, keningku mengernyit heran saat pintu rumah tidak terkunci.

Mungkin Davian sudah pulang, tapi mobilnya tidak ada di depan atau Lawrence lupa mengunci pintunya.

Mengangkat bahu aku berjalan masuk dan langsung menuju ke kamar.

Keadaan rumah dan kamar yang sepi semakin menguatkan dugaanku jika Lawrence memang lupa mengunci pintu.

Mengambil handuk di gantungan kemudian aku melangkah menuju ke kamar mandi, aku akan mandi setelah itu aku ingin langsung tidur karena badanku terasa lelah.

Tanpa rasa curiga sedikitpun, aku membuka pintu kamar mandi, tapi saat mataku menatap lurus ke depan aku langsung terbelalak horor dan suara teriakanku pun mengema di kamar mandi.

Tanpa rasa curiga sedikitpun, aku membuka pintu kamar mandi, tapi saat mataku menatap lurus ke depan aku langsung terbelalak horor dan suara teriakanku pun mengema di kamar mandi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dengan cepat aku menutup pintu kamar mandi dengan bantingan keras.

Sial.

Bagaimana aku tidak berteriak saat melihat sosok Davian yang bertelanjang dada? untung saja dia masih memakai celananya.

Lebih parahnya lagi dia ada di kamar mandiku ralat kamar mandi di kamar tamu yang aku tempati.

Dasar tidak punya sopan santun. Bukankah kamar mandi di kamarnya ada? bahkan lebih luas dan mewah dibandingkan di kamar ini.

Aku bersiaga saat pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Davian masih dengan kondisi tadi.

Segera saja aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya.
Dengan santai dia meraih handuk di meja rias.

"Apa maksudmu? Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa yang kau lakukan di kamar mandiku?" aku balik bertanya.

Dia mendengus, sambil berjalan ke arahku, "semua ruangan di sini milikku, jadi aku berhak mengunakannya semauku."

"Tapi kau melanggar privasiku!" cercaku.

"Melanggar privasimu? Apakah kau masih memikirkan tentang privasimu sementara beberapa waktu yang lalu kau berada di sebuah bar yang terkenal di Manhattan, menghabiskan malam bersama salah satu lelaki di sana," Davian berkata dengan nada yang tajam. "Cih, aku bahkan tidak menyangka kau akan cepat sekali akrab dengan lelaki di kota ini! Kau juga bahkan sudah tau di mana letak bar paling elit di sini."

Hatiku langsung berdenyut sakit mendengar perkataannya, "dengar, tuan Jade yang terhormat, aku memang berada di bar itu beberapa waktu yang lalu, tapi aku tidak menghabiskan malamku bersama lelaki yang tak aku kenal. Arvon, kau tau bukan? Dia sepupumu. Dia yang membantuku dan berbaik hati mengantarku pulang." Jelasku.

"Cih, manis sekali penjelasanmu, Miura. Apa kau pikir aku akan percaya semua apa yang kau ucapkan! Jangan harap! Atau aslinya kau memang seperti itu, pemikat lelaki!" cemoohnya.

Wajahku terasa panas karena menahan marah, bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu. Kalau saja bukan karena Mirai, aku tidak akan datang ke tempat seperti itu. Sial! Kenapa aku malah menyalahkan Mirai? Mirai tidak bersalah, yang salah adalah mulut lancang lelaki di depanku ini.

Dengan gigi bergesekan geram, aku membalas perkataan Davian, "jika aku adalah gadis seperti yang kau pikirkan, lalu apa urusannya denganmu? Bukankah kita tidak berhak mencampuri urusan pribadi masing-masing seperti yang sudah kau katakan dalam surat perjanjian yang kau berikan beberapa waktu lalu!" bentakku.

Sekilas aku melihat kilat kemarahan di matanya akibat bentakanku, tapi aku tidak takut selagi dia tidak main tangan padaku.

Tapi mataku kembali terbelalak saat Davian mendekat begitu cepat, tangan besarnya meraih pinggangku dan tubuhku melayang lalu mendarat di atas ranjang dengan lelaki itu di atasku.

Kejadiannya begitu cepat membuatku terdiam beberapa saat karena terkejut.

"Apa yang kau lakukan? Menyingkir dari tubuhku!" aku berusaha memberontak dari kungkungannya. Tapi percuma, karena tubuh itu terlalu besar, dia bahkan tidak bergerak saat aku mendorongnya.

"Untuk apa kau memberontak? Itu akan percuma, yang ada tenagamu akan habis sia-sia. Ingat, aku tidak ikut campur urusanmu, kalau orangtuaku tau kau ada di sebuah bar tanpa diketahui, kita akan mendapatkan masalah," dia berkata tepat di depan wajahku, sehingga aku bisa merasakan napas hangatnya. "Mari kita buktikan tentang apa yang kau katakan tadi."

Mataku lagi-lagi terbelalak, bagaimana dia dengan mudahnya mengatakan hal itu?

"Hentikan!" hardikku saat tangannya mulai membuka kancing kemejaku.

"Untuk apa berhenti jika hal ini yang kau inginkan," ucapnya santai.

Tiga kancing sudah terbuka, aku mulai ketakutan, tubuhku mulai bergetar tanpa bisa di cegah. Dengan susah payah mengenggam pergelangan tangan besar Davian.

"Hen-ti-kan!" ujarku lemah dan tersendat karena menahan isakan.

Tangannya yang tadi gencar untuk membuka kemejaku berhenti seketika, dia menatap tepat di mataku, tapi pengelihatanku buram karena airmata yang mulai mengenang.

"Cih, munafik!" umpatnya.

Dengan segala kekesalan aku melayangkan tanganku ke pipinya.

Bukan makian yang aku dapatkan, bukan pula balasan tamparan, tapi tatapan menghina yang dia berikan.

"Jalang murahan!" ucapnya. "Aku tidak akan meminta maaf untuk yang baru saja terjadi," kemudian dia berlalu pergi.

Pergi meninggalkanku yang mulai meringkuk, berusaha untuk memeluk diri sendiri, dalam isakan dan airmata yang mulai turun dengan deras.

TBC

Why You? 🔚Where stories live. Discover now