Why You - 11

9.5K 448 4
                                    


Typo, berhati-hatilah!!

-----

Kini Davian dan Arvon hanya tinggal berdua di dalam ruangan Davian, sementara Haruna sudah pamit pergi beberapa menit yang setelah membereskan bekas makan siang mereka.

Kedua lelaki tampan itu duduk di sofa yang berseberangan.

"Kalian terlihat akrab? Sejak kapan?" tanya Davian sambil terus menatap Arvon yang tersenyum padanya.

"Tentu saja, Dav. Emm, aku rasa baru-baru ini. Haruna gadis yang menyenangkan. Aku rasa siapa pun pasti mudah akrab dengannya, termasuk aku." Jelas Arvon. Dia tertawa geli dalam hati saat melihat raut ketidaksukaan diwajah sepupunya itu.

Arvon jadi ingin menggoda Davian.

"Kau tau, selain menyenangkan, Haruna juga baik dan cantik. Kulitnya itu putih merona alami yang sangat halus saat disentuh," Arvon berkata seolah sangat mengagumi Haruna, well hal itu separuhnya benar. Arvon memang mengagumi sosok gadis itu.

Tapi melihat alis Davian yang naik sebelah saat Arvon memuji Haruna, membuat lelaki itu tertawa lagi dalam hati.

Namun Arvon juga memuji sifat tak peduli seorang Davian.

"Sepertinya syaraf di otakmu sudah tersumbat. Gadis menyebalkan itu kau kata menyenangkan," ejek Davian.

"Oh ayolah, Dav. Aku tau pernikahan kalian bukan dari keinginan sendiri, tapi kau tidak boleh memperlakukan Haruna seperti ini," tuntut Arvon.

"Kau tidak perlu ikut campur, Ar!" bantah Davian.

"Tapi caramu salah, kalau kau memang tidak suka pada Haruna, kau hanya perlu mendiamkannya saja. Tidak seperti ini. Dan apa-apaan itu, kau memperkerjakan sebagai office girl? Bagaimana kalau kedua orang tuamu sampai tau?" Arvon berusaha mengingatkan Davian.

"Mereka tidak akan tau jika tidak ada yang membuka mulut, aku juga memperingatkanmu, Ar!"

"Ini salah, Dav. Kedua orang tuamu pasti akan marah padamu jika hal ini sampai terdengar di telinga mereka. Lagipula apa kau tidak merasa bersalah sedikitpun pada Haruna?"

"Tutup mulutmu dan jangan mengguruiku!" Davian bersikeras.

"Aku tidak bermaksud untuk mengguruimu, aku hanya memberitahukan padamu tentang akibat dari apa yang sudah kau lakukan."

"Ck menyebalkan!"

Arvon bangun dari duduknya, "hentikan ini, Dav, sebelum kau menyesal nanti. Oh ya satu lagi, jangan salahkan aku jika Haruna malah berlari padaku."

Lelaki tampan itu berlalu dengan senyum miring dibibirnya, meninggalkan sang sepupu yang berdecih kasar.

.

.

.

Haruna masih mengepel lantai toilet di lantai delapan saat sebuah suara memanggil namanya.

Ternyata itu Cassie.

Sepertinya gadis itu sudah menyelesaikan tugasnya sehingga dia bisa menghampiri Haruna.

"Haru," panggil Cassie dengan senyum manis dibibirnya.

"Hai," balas Haruna. "Apa kau sudah selesai?"

Cassie mengangguk, "iya. Kau sendiri?"

"Hanya tinggal ini," ujar Haruna.

"Oh, perlu bantuan?" tawar Cassie.

"Tidak, Cass, ini sebentar lagi selesai," jelasnya.

"Baiklah, tapi ini sudah jam pulang," kata Cassie. "Apa kau mau aku menunggumu?"

"Tidak perlu. Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat setelahnya langsung pulang." Jelas Haruna.

"Tapi pak Davian sudah pulang sekitar dua puluh menit yang lalu. Apa kau yakin bisa pulang sendirian?" tanya Cassie sedikit cemas.

"Jangan khawatir, aku bisa pulang mengunakan taksi," beritahu Haruna.

"Oh, baiklah. Kalau begitu aku pulang duluan ya."

"Hati-hati dijalan,"

Haruna hanya tersenyum melihat kepergian Cassie.

Cassie gadis yang menyenangkan dan teman pertama Haruna disini.

Haruna senang karena Cassie menganggapnya seperti sahabat, bukannya istri dari CEO nya.

Dengan senyum Haruna kembali melanjutkan pekerjaannya, tanpa menyadari jika kegiatan mereka berdua tadi diperhatikan oleh sosok yang menatap penuh benci padanya.

Sosok itu sudah memperhatikan Haruna sebelum kedatangan Cassie dan sosok itu bersyukur karena Cassie tidak lama berada disana.

Huh, sungguh menyenangkan. Rencananya akan berjalan lancar sekarang tanpa gangguan.

Seringaian dibibir berpoles lipstik merah itu semakin lebar karena Haruna sama sekali tidak menyadari keberadaannya.

Dengan perlahan dia mendekati pintu toilet dan menutup pintu itu perlahan, "gadis yang malang!" ujarnya setengah berdecih, tapi bibirnya tersenyum puas akan apa yang dia lakukan.

Kemudian sosok itu berlalu pergi.

Sementara itu, Haruna telah selesai dengan pekerjaannya.

Dia mengusap peluh dikeningnya dan tersenyum senang.

"Hah, akhirnya selesai juga," gumannya kecil.

"Saatnya pulang," tangan kecilnya membuka pintu didepannya.

Tapi apa yang Haruna dapati, pintu itu terkunci.

Perasaan tadi pintu itu tidak terkunci, bahkan tertutup pun tidak. Setelah kepergian Cassie, dia membiarkan pintu toilet tetap terbuka.

Tapi sekarang pintu itu tertutup.

Haruna berusaha sebisa bisa mungkin untuk membuka pintu itu, akan tetapi usahanya sia-sia.

Tangan kecilnya juga dengan kuat memukul pintu agar ada orang yang mendengar gedorannya.

"Seseorang tolong aku, tolong buka pintunya!" teriak Haruna sambil terus mengedor pintu.

Tapi tidak ada satu orang pun yang mendengarnya.

Wajar saja, ini sudah jam pulang. Siapa yang mau berada lama-lama disini?

"Bagaimana ini? Aku bahkan tidak membawa ponselku," gumannya.

Tubuh Haruna merosot kelantai. Dia sudah lelah dengan usaha percumanya.

Siapa saja tolong jeritnya dalam hati.

TBC

Why You? 🔚Where stories live. Discover now