"Maaf, aku membuatmu takut," ucap Rex dengan nada lembut.

Litzi terdiam, ia hanyut dalam tatapan lembut pria itu. Rex mengamit tangan Litzi lalu menggandengnya keluar walk in closet. Rex menyuruhnya duduk, lalu mereka sama-sama duduk di sofa yang sama. Rex menatap saputangan kotor itu dan menghela nafas pelan.

"Baiklah, Litzi. Bisa kau jelaskan tentang ini?" tanya Rex menatapnya.

"Aku mimisan," jawab Litzi tanpa menatapnya.

Rex terkejut, "Mimisan?!"

Rex memeriksa suhu tubuh Litzi dengan tangannya yang menyentuh dahi juga leher gadis itu.

"Suhu tubuhmu panas. Akan ku hubungi dokter sekarang juga," Rex bersiap untuk mengeluarkan ponselnya, namun Litzi mencegahnya.

"Jangan!" kata Litzi, "Aku baik-baik saja," tambahnya mengutas senyum.

Rex menghela nafas gusar, "Benarkah? Tapi apa ini? Darah dan suhu tubuhmu cukup panas. Kenapa kau tidak bilang padaku? Lihat! Kau mimisan dengan darah sebanyak ini."

"Dengarkan aku dulu, Mr. Rex! Aku akan menceritakannya," kata Litzi mencoba menenangkannya.

Rex mengangguk dan siap mendengarkan. Litzi pun menceritakan kejadian pagi hari ini di lorong sekolah tadi. Awalnya Rex kesal dengan ulah Hillary, tapi ia memaklumi begitu mendengar penyebab Hillary melempar sepatu itu, kekesalannya berubah pada Javier.

"Tolong, jangan marah pada Hillary. Dia baik. Dia teman sekelasku dan teman baikku. Dia tidak sengaja, bukan salahnya tetapi dia mau bertanggung jawab. Dia membawaku ke klinik kesehatan di sekolah lalu memberikan saputangan itu padaku, supaya darah tidak mengotori seragamku. Begitu, Mr. Rex," papar Litzi.

Rex mengangguk, "Iya, aku mengerti posisi Hillary. Lalu kenapa kau menyembunyikan hal itu dariku?"

"Aku takut kau marah jika kau lihat darah itu. Aku takut kau tidak mau mendengarkan penjelasanku. Aku tidak mau Hillary dalam masalah, padahal dia tidak salah," kata Litzi.

"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanya Rex.

"Kau tampak berbahaya ketika marah. Saat kau membuat Erick tersungkur. Apalagi ekspresimu ketika melihat saputangan itu, padahal itu cuma.. darah."

"Aku lihat setetes darahmu saja, itu berpengaruh untukku. Ya aku marah melihat saputangan ini, tapi kekhawatiranku jauh lebih besar. Aku tidak rela siapapun menyakitimu sampai mengeluarkan darah seperti ini!" tegas Rex.

Litzi terenyuh dengan kata-kata Rex barusan yang terkesan manis. "Jangan memandang Hillary seperti itu. Aku mohon, dia tidak salah," katanya.

Rex tersenyum, "Iya. Aku mengerti. Bukan dia, tapi Javier. Akan ku buat dia merasakan bagaimana rasanya mimisan."

Litzi mencekal lengan Rex dan menggeleng, "Jangan lakukan itu!"

"Kenapa?" Rex mengernyit.

"Yang lalu biarlah berlalu. Jangan diperpanjang lagi. Anggap saja telah selesai."

"Telah selesai? Enak saja, akan ku buat perhitungan!"

"Jangan. Aku mohon, Mr. Rex."

Melihat raut wajah Litzi yang memohon, hati Rex menjadi luluh. Ia mengangguk seraya tersenyum, menuruti kemauan gadis itu. Litzi tersenyum lebar mendengarnya. Begitu melihat Rex melirik cekalan tangannya, dengan cepat Litzi melepaskan cekalan tangannya.

"Kenapa di lepas? Aku suka kau memegang tanganku," kata Rex.

Litzi menahan senyumnya, "Em.. tidak. Aku lupa menarik tanganku tadi."

DIRTY BABY [Rexford Mackenzie]Where stories live. Discover now