ADAKAH TEMPAT BAGIKU?

Beginne am Anfang
                                    

Hega mendengus. Tapi tetap dalam penguasaan diri yang baik. “Dulu Mira ada. Aku yang mau pergi. Apa kamu masih ingat,,, kamu gak mau aku pergi?”

Antonius terdiam. Matanya masih menatap tajam pada Hega. Lalu Antonius menjawab, “Anggap aja aku ini laki-laki egois… dan laki-laki egois ini gak mau berurusan lagi dengan kamu. PAHAM?”

Antonius mengibaskan tangan tanda menyudahi percakapannya. Ia terus mengibas, berharap Hega mau pergi. Tapi Hega malah membuka pintu pagar dan berusaha untuk masuk.

Antonius cepat berbalik dan menahan pintu pagar agar tak membuka. “Ga!!! Pergi!!!”

Hega terdiam. Ia tidak lagi berusaha mendorong pagar. “Kamu pasti belum makan..”, katanya lembut. Ia beranjak ke mobil untuk mengambil sesuatu. Lalu kembali lagi dengan sekotak kemasan makanan di tangannya. “Ini sushi kesukaan kamu.” Hega menatap Antonius dengan lembut sambil menyodorkan kotak kemasan makanan itu. “Kalo kamu terima makanan ini, aku pergi”, kata Hega lagi.

Antonius mengambil kotak kemasan makanan itu dengan perlahan. Perutnya mulai bersuara. Seolah menyambut pemberian Hega.

Hega tersenyum pada Antonius. “Maaf,,, kalo aku harus bilang ini… aku khawatir sama keadaan kamu. Aku tau kamu dah gak punya sisa sepeserpun di rekening kamu. Kalo pun kamu mau Mira kembali,,, minimal kamu harus punya penghasilan kan?” Hega masih menatap mata Antonius yang redup sinarnya. Antonius seperti tak berdaya untuk memberi jawab.

Hega merunduk sebentar untuk membuka dompetnya. Ia mengeluarkan salah satu kartu ATM miliknya. Dengan hati-hati dan perlahan, Hega menyodorkan kartu ATM itu pada Antonius. “Kalo kamu terima kartu ini… dan pake untuk kebutuhan kamu,,, maka aku akan tenang dan gak khawatir lagi. Dan aku gak akan muncul lagi di sini. Tapi hanya seminggu. Dalam seminggu, aku akan balik ke sini. Karna kamu harus punya pekerjaan… dan aku punya solusi untuk kamu. Tapi kalo Mira pulang… terserah kalian… masalah finansial akan sepenuhnya jadi masalah kalian.”

Antonius belum menggerakkan tangannya untuk menerima sodoran Hega itu. Katanya dengan nada berat. “Apa yang membuat kamu berpikir… kalo Mira belum balik… masalah finansial aku, hidup aku… adalah masalah kamu? Justru… kamulah,,, MASALAH buat hidup aku sekarang… paham, ga?” Antonius menyelesaikan kalimatnya dengan perlahan dan jelas.

Hega terdiam. Akhirnya ia tersenyum. “Aku… pergi dulu, ya…” Tanpa menunggu Antonius menjawab, Hega sudah membalikkan badan dan masuk ke dalam mobilnya.

Saat Hega menyalakan mesin mobilnya, Antonius sudah beranjak masuk ke dalam rumah.

Hega melajukan mobilnya. Sampai ke perempatan jalan menuju jalan raya Pekayon, ia masih terdiam. Setelah melewati gerbang Tol Bekasi Barat,,, air matanya mulai menitik satu-persatu… Tapi tetap tak ada sedikitpun suara yang keluar dari kerongkongannya. Hening. Matanya menatap lurus ke jalan. Kakinya menginjak pedal gas kuat-kuat saat didapatinya jalanan agak sepi. Ia mengebut sekitar 120 km/ jam… kemudian 150 km/ jam… hari libur membuat jalan-jalan di seputar Jakarta menjadi sepi. Banyak keluarga pergi ke luar kota atau ke Puncak, Bogor dan tempat wisata lainnya. Hega semakin kencang melajukan mobilnya… 180 Km/ jam… Ia melajukan mobilnya ke arah Jakarta Utara…

Dan ia bisa saja memilih menabrakkan mobilnya ke pembatas jalan layang yang sedang dilaluinya kini… tapi kemudian, ia mengurangi kecepatan mobilnya dengan teratur… hingga ke 60 Km/ jam… Ia teringat bagaimana orang tuanya mati mengenaskan dalam kecelakaan mobil… Yang terakhir ia ingat adalah bagaimana papa dan mamanya saling menudingkan jari… “Kau brengsek!!!”, itulah yang dikatakan mamanya. “Perempuan sialan!!!”, itulah yang dikatakan papanya. Kalimat berikut yang ia dengar dari keduanya adalah, “Aku benci kamu!!!”

Hega mengingat pandangan Antonius terhadapnya tadi… membencinya…

Hega sudah merasa bahwa dirinya adalah seorang istri. Kebanyakan suami mulai membenci istrinya di saat mereka sudah terlalu lama bersama… Hega mendengus sesendirian… Pada akhirnya… perempuan selingkuhan pun akan mulai bersikap dan bertingkah seperti istri… “menuntut”. Dan laki-laki yang selingkuh pun mulai berlaku selayaknya suami terhadap istrinya… “gerah”. Semuanya terlihat sama saja di mata Hega.

Aku tau ini akan terjadi… aku udah tau… kenapa aku harus merasa heran?, Hega membatin. Mungkin aku hanya berharap… yang kali ini hasilnya akan berbeda… aku bisa memilikinya dan hidup bahagia bersamanya… jahat? Aku tak perduli… Aku sudah terlalu jauh… Aku sudah membayar harga… Aku gak akan menyerah… maaf, Tuhan… aku gak bisa melepaskan dia… apapun resikonya… Kau jangan menghalangiku…

Saat Hega selesai berkata-kata di dalam hatinya,,, mendadak saja sebuah truk melesat cepat, menyusul untuk mendahului laju mobilnya dari arah kanan belakang… dan menyenggol bagian kanan mobilnya hingga terpental ke pembatas jalan di sisi kiri…

Dada Hega membentur setir dengan sangat keras. Hega bisa merasakan rasa anyir dan asin memenuhi mulutnya saat ia memuntahkan darah… Kemudian ia hilang kesadaran…

Hega sempat tersadar beberapa saat… ia mendengar sirine ambulans dan beberapa orang mengerubunginya. Saat ia merasakan tubuhnya terangkat di atas sebuah tandu, tadinya ia berpikir kalau dirinya berhalusinasi melihat wajah Raymond merunduk ke atasnya. Raymond adalah bekas anak buahnya di dealer Cameron Cabang Kelapa Gading… Ia melihat Raymond menangis. Laki-laki berusia sekitar dua puluh lima atau dua puluh enam,,, menangis di tengah keramaian… menangis untuk Hega… terdengar samar-samar suara Raymond membisik lirih… “Tuhan… tolong selamatkan dia… aku mengasihi dia…”

Lalu Hega kembali tak sadarkan diri…

Ia merasa seperti melayang… merasa begitu kedinginan… semuanya tampak begitu gelap. Ia mendengar tangisan dan erangan di sekelilingnya… tapi ia tak bisa melihat apapun… Hega mulai merasakan ketakutan yang dulu pernah ia rasakan… ketakutan saat melihat papa dan mamanya tak hidup lagi… Ia sendirian… sendirian… tak ada siapapun yang akan menemaninya… tak ada siapapun yang mengasihinya… tak ada siapapun yang mengharapkannya… Ia harus menjaga dirinya sendiri… ia harus melindungi dirinya sendiri… tak ada yang akan membelanya… Hega melihat Daniel Hendrik membuang muka darinya… Hega melihat orang-orang satu kantor tempatnya bekerja dulu,,, menertawakan dan menudingkan jari padanya… Hega melihat papa dan mamanya meninggalkan dirinya demi perselingkuhan mereka… Hega melihat mamanya mengibaskan tangan padanya di saat ia meminta mamanya untuk pulang…

            “Pulang, ma…” Hega yang masih belasan tahun, menarik-narik lengan mamanya. Tapi mamanya tak mau melepaskan tangannya dari laki-laki selingkuhannya. “Pergi sana!!!” Mamanya mengibas padanya. Mengusirnya… Lalu Hega menarik-narik lengan papanya, memintanya untuk pulang… “Pulang, pa… aku kangen sama papa… mama juga…” Hega melihat tangan papanya mengibas padanya,,, tapi membelai lembut wajah perempuan selingkuhannya… Tak ada seorang pun yang mau pulang ke rumah… tak ada yang menemaninya… hingga ia menjejak usia dua puluhan…  Yang dilihatnya hanyalah pertengkaran demi pertengkaran yang begitu sengit… tak ada tawa dan canda… tak ada pelukan hangat untuknya bahkan di hari ulang tahunnya… Lalu papa dan mamanya pergi begitu saja selamanya… tanpa berkata padanya,,, apakah papa dan mamanya menyayanginya…

Yang terakhir… ia melihat bagaimana Antonius menatapnya… mengibas padanya… menyuruhnya untuk pergi…

Lalu samar-samar,,, terlihat lagi wajah Raymond… dan suara kecilnya yang lirih… “…Aku mengasihi dia…” Hega berusaha memperjelas pendengarannya… Ia mendengar sebuah doa terlantun… “Selamatkan dia, Tuhan… Aku mengasihinya…”

Hega mulai menyadari apa yang telah menimpanya. Ia tak menyangka akan mengalami kecelakaan mobil untuk ketiga kalinya. Dulu, ia selalu berharap agar ia lebih baik mati saja. Tapi yang kali ini, Hega berharap untuk hidup. Terbayang wajah Antonius. Hega takkan tenang bila meninggalkannya dalam keadaannya yang seperti itu... terpuruk dan sendirian. Meski ia harus di benci Antonius,,, Hega berharap hidup. Tapi Hega bahkan tak berkuasa atas tubuhnya sendiri saat ini. Ia bahkan tak bisa membuka suara atau pun menggerakkan tangannya.

Hega mulai membatin,,, Tuhan,,, mengapa kau membiarkan hidup ini begitu gak adilnya bagi aku... Apakah Kau juga tak menyayangiku? Adakah tempat untukku, Tuhan? Mengapa tidak ada tempat untuk aku, Tuhan? Mengapa Engkau juga membenciku? Mengapa tak Kau sisakan satu saja kebahagiaan untuk aku? Mengapa aku harus selalu sendiri?

Tapi kemudian, terdengar lagi lantunan suara kecil seperti memanjatkan doa..

"Tuhan,,, tolong selamatkan dia... aku mengasihi dia. Meskipun,,, aku gak mendapat tempat di hatinya..."

Lalu Hega tak bisa merasakan, mendengar atau melihat apapun lagi… Ia seperti terus melayang dan semakin menghilang…

NURANIWo Geschichten leben. Entdecke jetzt