Hati Yang Patah

811 64 0
                                    

   Malam itu Abhi datang ke rumahnya, bersikeras untuk menjelaskan segalanya dari awal. Berusaha membuat Hanna memahaminya, melihat dari sudut pandangnya, mengiba agar Hanna kembali mempertimbangkan keputusannya.

   Mereka duduk bersebelahan, Hanna menunduk lesu. Dia hanya memainkan ujung rambut hitam sebahunya, sedangakan Abhimanyu masih terdiam namun isi kepala dan dadanya berkecamuk.

   "Kamu mencintai dia, Bhi?"Tanya Hanna memecah keheningan diantara mereka.

   Abi menggelengkan kepalanya berkali-kali.

  "Nggak, Han. Aku nggak mencintainya. Aku mencintai kamu, Hanna... Cuma kamu yang ada di hati dan hidup aku."

  "Siapa namanya, tadi?"

   "Wenny." Jawab Abhi pendek dengan suara putus asa, karena Hanna tidak menanggapi pengakuannya.

   "Hanna..." Nadanya menggantung. Ada yang ada ingin dia katakan kembali namun urung.

   "Ceritakan padaku. Semuanya" Abhi mengangkat kepalanya dan memandang Hanna dengan terkejut.

   "Hanna.."

   "Ceritakan sekarang." Selak Hanna sebelum Abhi melanjutkan kalimatnya.

   "Aku perlu tahu semuanya." Pinta Hanna. Dengan wajah yang masih tertunduk. Lalu, Abhi mulai bercerita dari awal semua kejadian pada hari itu.

   "Dia sakit, Han... lalu dia memintaku untuk mengantarnya pulang. Tapi, sumpah Hanna aku menolaknya. Sampai pada akhirnya kamu menelepon untuk membatalkan janji kita."

   Abhi menyelesaikan kalimatnya. Jelas dengan rasa penyesalan yang dalam. Hanna terhenyak sesaat mendengarkan penjelasan Abhi.

   Terlintas jelas di ingatan Abhi tentang hari itu dimana dia mengantarkan teman sekantornya itu pulang ke rumahnya.

   "Abhi, makasih ya kamu sudah mau mengantar aku pulang."

   "No problem, Wen... sudah, kamu masuk sana. Aku pulang mengantar kamu juga dengan motor, takutnya malah memperparah sakit kamu. Terlalu banyak angin kan..."

   Wenny hanya tersenyum. Hatinya berbunga mendengar perhatian Abhi untuknya.

   "Sekali lagi makasih ya." Lalu Wenny-pun melangkahkan kaki menuju pintu gerbang rumahnya. Namun langkahnya oleng, dia benar-benar lemah.

   Rasa tanggung jawab Abhi sebagai laki-laki terusik. Dengan cepat dia membantu Wenny, memapah wanita itu memasuki rumahnya. Sesampainya di dalam, Abhi mendudukan Wenny di sofa kulit putih yang nyaman.

   "Kamu nggak apa–apa kan, Wen?" Tanya Abhi sekedar memastikan, karena Wenny begitu pucat.

   "Nggak apa–apa, Bhi..."

   "Kamu langsung istirahat ya. Aku pulang." Dengan cepat Wenny menarik tangan Abhi. Wanita itu berusaha menahan kepergiannya.

   "Bhi... nggak ada orang dirumah. Ayah dan Ibu sedang pergi mengunjungi adik aku yang kuliah di Bandung. Bibi juga sedang tidak kerja, karena ada keluarganya yang sakit. Aku benar-benar sendiri." Ucap Wenny.

   "Kamu mau kan, tolongin aku buatkan teh panas karena aku takut nggak kuat lagi seperti tadi."

   Abhi hanya diam berfikir. Sungguh tidak enak rasanya ada di rumah hanya berdua dengan Wenny. Janggal rasanya. Tapi, Abhi merasa kasihan pada Wenny. Betul tadi dia hampir pingsan, jadi apa salahnya kalau Abhi membantunya seratus persen tidak setengah-setengah.

   Akhirnya Abhi mengangguk tanda setuju. Abhi membantu Wenny membuatkan teh.

  Beberapa saat setelah minum tehnya, wajah Wenny berangsur-angsur terlihat mulai segar.

   "Tunggu sebentar ya, Bhi. Kamu jangan pulang dulu."

   Wenny berlalu ke kamarnya, mandi dan mengganti bajunya menjadi lebih santai. Wenny memang cantik, baju rumahan-pun terlihat melekat sempurna padanya.

   "Aduh, mulai ngelantur aku" Dalam hati Abhi berkata.

   "Kamu sudah terlihat baikan, Wen. Aku pulang kalau begitu." Wenny kembali menahannya. Kali ini dengan jarak yang amat dekat. Abhi berusaha mundur namun Wenny tetap terlalu dekat. Sangat dekat.

   Abhi memacu motornya dengan sangat kencang malam itu. Kira–kira jam 9 malam Abhi pergi dari rumah Wenny dalam keadaan kesal dan penuh amarah. Betapa tipis imannya, dia sudah mengkhianati Hanna.

   Berkali-kali Abhi berusaha menepis kenangan itu. Namun itu bukan mimpi. Hanna masih tertunduk. Kali ini Abhi berusaha menggenggam tangan Hanna tapi Hanna menepisnya.

   "Ku mohon, Han... aku nggak mau pisah dari kamu. Aku mau tetap meneruskan semua yang sudah kita rencanakan bersama. Aku ingin kita tetap menikah."

   Hanna masih diam.

   "Aku tahu aku salah. Tapi, bukan kah manusia tempatnya salah? Aku mohon Hanna. Aku benar-benar mohon..."

   Hati Hanna berkecamuk. Marah, benci, sakit hati juga sedih kini menjadi satu, teraduk di dalam dadanya. Ingin rasanya dia menghardik wanita itu. Wanita yang dengan sengaja merebut belahan hatinya, separuh napasnya, Abhi.

   "Jadi ini rasanya dari hati yang patah?" Batin Hanna. "Benar–benar sakit".

   "Kenapa kamu nggak bisa mempertahankan aku, Han? Beri aku satu alasan. Satu saja, maka aku akan meninggalkan Wenny apapun resikonya!!" Abhi membatin.

   Menatap Hanna yang kini sudah mengarahkan pandangannya kepada Abhi.

   "Ahh... wanita ini selalu tegar dan kuat. Dia menahannya begitu kuat. Semua kepedihan yang aku torehkan ke dalam hatinya" Kembali Abhi berkata pada hatinya sendiri.

   "Abhi..."

   "Iya, Hanna..."

   "Nama kamu adalah Abhimanyu. Abhimanyu artinya yang tidak kenal takut. Maka hari ini aku meminta kamu untuk bertidak sesuai dengan nama kamu."

   "Maksud kamu, Han?"

   "Bertindaklah dengan tidak kenal takut untuk mengemban tanggung jawab itu."

   Abhi terdiam. Tidak tahu lagi apa yang akan dia katakan kepada Hanna, tidak tahu lagi bagaimana caranya memohon.

   "Bertanggung jawablah Abhi atas apa yang telah kamu lakukan dengan gagah berani. Ini bukan hanya menyangkut Wenny melainkan juga darah daging kamu yang tumbuh di rahimnya." Kata- kata Hanna menghancurkan harga diri Abhi. Juga, menghancurkan mimpi serta masa depan Hanna.

   "Manusia boleh berencana tapi, Allah juga yang akan menentukan hasil akhirnya."

    Ujar Hanna kemudian berlalu dari Abhi.[]

Annyeonghaseyo, Korea! [TAMAT]On viuen les histories. Descobreix ara