Ketika Diprotes

696 26 0
                                    

Kita tak pernah tahu hasil dari sebuah pertemuan pertama. Apalagi pertemuan tanpa rencana. Kita hanya bisa mengikuti rencana Tuhan yang biasa disebut "TAKDIR".

=============----------=============


"Ibu, aku tidak mau satu kelompok dengan orang ini," Halib menunjuk Indira Indiva Cahyani sambil berdiri protes dosen dengan logat bahasa Batak.

Dosen yang bergelar Doktor itu pun tercengang sesaat menyaksikan tingkah mahasiswa yang baru saja masuk. Kelas pertama di hari pertama masa perkuliahan. Mahasiswa baru, tapi sudah berani protes dosen. Tentu ini menjadi pemandangan yang berbeda bagi para dosen di kampus. Mahasiswa baru yang masih bersifat anak-anak.

"Kenapa?" tanya dosen Dr. Andini.

"Tidak, Ibu. Dia sombong kali kalau satu kelompok dengan aku."

Roy Agam, Putra Gede hanya tersenyum melihat ke arah Halib. Mereka mengira orang ini belum dewasa. Lucunya, Halib baru pertama kali mengenal Cahyani di kelas dosen ini. Iya, karena memang perkuliahan di hari pertama. Belum saling kenal. Apalagi mengetahui sifat masing-masing mahasiswa lainnya. Kecuali, Roy Agam sama Putra Gede yang sudah saling kenal sejak pertama datang ke Kota Malang.

"Apa kamu sudah mengenalnya?" Dr. Andini kembali bertanya dengan nada tinggi.

Halib tidak langsung menjawab. Dia melihat ke arah Cahyani yang hanya tersenyum melihat tingkah anak Medan itu. Dengan suara pelan Halib berkata, "Aku belum mengenalnya, Ibu."

"Lalu, kenapa kamu bilang dia sombong. Darimana kamu tahu?"

Tanpa pikir panjang, Halib menjawab pertanyaan dosennya. "Kata Bapak aku, kalau orang cantik itu sombong kali. Dia juga berarti sombong. Aku tidak suka orang sombong."

Dr. Andini tertawa mendengar jawaban Halib yang begitu polos. Tak terkecuali Roy Agam, Putra Gede dan Indira Indiva Cahyani ikut terbahak-bahak. Suasana kelas Dr. Andini menjadi riuh dengan hadirnya Halib.

Cahyani memang juara soal kecantikan di kelasnya. Dia adalah salah satu bunga desa yang dimiliki Kota Malang. Kecantikannya mengalihkan dunia lelaki yang melihatnya. Tapi, tuduhan Halib atas dirinya sebagai orang sombong tidak terbukti. Cahyani seorang gadis yang sangat ramah dan santun.

"Oke, anak-anak. Berarti yang belum dapat kelompok kalian berdua, ya?"

"Iya, Bu. Kami berdua," jawabnya serentak.

Semua mahasiswa di kelas bersorak, "Cieeeee."

"Karena kalian belum mendapat kelompok. Maka Ibu akan membuat kuiz. Jika kalian bisa menjawab, maka akan Ibu gabungkan dengan kelompok lain. Tapi, jika kalian berdua tidak bisa menjawabnya, maka kalian berdua menjadi kelompok juga."

Halib belum bisa menerima, "Aku sendiri saja, Ibu. Tidak usah sama orang ini. Malas kali aku."

................................................................................

"Namaku Indira Indiva Cahyani, Mas. Bukan orang ini."

"Ah, suka-suka aku lah. Apa pula kau yang protes."

"Sudah, sudah! Kalian sudah dewasa. Oh iya, nama panggilanmu siapa, Mbak?" tanya Dr. Andini.

"Cahyani."

"Nah itu saja. Kan aku jadi mudah mengingatnya," Halib menyela.

Cahyani hanya tersenyum kaku pada dosen dan Halib. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis putih ini hingga begitu santai pembawaannya.

"Oke, silakan dikerjakan kuiznya dulu. Jangan ada protes lagi."

Berjalan lima menit, Halib dan Cahyani mengerjakan soal yang diberikan dosen. Mereka berdua mengerjakan dengan tenang. Sementara mahasiswa lainnya menunggu perintah dari dosen. Mereka berdua seperti ini karena terlambat masuk kelas.

"Ibu, sudah selesai."

"Anak-anak, Halib dan Cahyani masuk ke kelompok Roy Agam dan Putra Gede, ya. Tidak ada yang protes lagi," dosen memberitahu.

"Silakan bergabung dengan kelompok Roy Agam dan Putra Gede," Halib dan Cahyani menuju mejanya.

Dosen pun memberikan tugas. Kelas pun akhirnya selesai setelah habis dibuat untuk membagi kelompok di hari perdana kuliah itu. Sebagai mahasiswa baru, mereka terlihat senang dan saling berkenalan. Terutama dengan anak Medan yang kocak dan peramah itu.

Roy Agam, Putra Gede, Halib Simajuntak, dan Indira Indiva Cahyani masih duduk santai di kursi gazebo sambil menyaksikan perahu yang kesana kemari di kolam kampus itu. Pemandangan atraksi mahasiswa yang tergabung dalam atlet perahu menjadi tontonan gratis mereka. Tertawa dan terharu melihat skill yang ditampilkan para atlet air yang hanya hitungan centimeter dari hadapannya.

Percikan air yang berhambur ke udara membentuk pelangi menjadi saksi, bahwa mereka sudah pernah mengikuti perkuliahan, seperti yang pernah mereka dengar dalam cerita. Putaran detik yang lambat di jam dinding menjadi cepat saat berkumpul bersama anggota kelompok. Pembahasan materi kuliah bukan prioritas, tapi tertawa dan bermain adalah cara mereka melampiaskan kebisingan kota.

"Tugas kita ini kapan lagi kita kerjakan, Roy?" tanya Cahyani yang saat itu mau pamit pulang.

"Ih lay, nanti malam lah kita kerjakan. Macam mana pula kalau tugas kita tidak selesai. Apa kau mau jadi tumbal ibu dosen?," Halib menunjuk Putra Gede.

"Kalau anaknya ibu dosen cantik seperti Cahyani aku mau, Lib," Putra Gede bergurau.

"Oh iya, aku tahu anaknya bu dosen. Anaknya memang,...."

"Cantik, ya?" tanya Halib tak sabaran.

Malang Menyisakan CintaWhere stories live. Discover now