Tiga Satu ; Fatamorgana Rasa

12.3K 2.3K 298
                                    

Tegang.

Tidak ada yang berani menyela saat Takahiro bicara. Delapan belas pejabat istana, penasihat raja, dan enam menteri dikumpulkan di aula istana. Ritsuka duduk di singgasananya, memerhatikan Takahiro yang berjalan santai dengan sebuah gulungan di tangan kanan.

"Aku yakin masing-masing dari kalian sudah mendapatkan surat peringatan bulan lalu." Takahiro bicara dengan senyuman mengembang. Dia berbalik beberapa langkah di depan Ritsuka lalu menatap satu demi satu petinggi kerajaan. "Semua yang kalian ambil harus dikembalikan segera. Karena ini awal kebangkitan Negara ini, aku tidak akan memberi bunga. Berterima kasihlah."

Tidak ada yang menyahut perkataannya. Hirasaki berdiri di sudut ruangan, memerhatikan sang tuan yang dihujani aura permusuhan. Semua petinggi istana terlibat. Mereka mengambil hal yang bukan hak mereka. Bertahun-tahun, kebusukan mereka tertutup rapi. Tapi, hanya dengan kedatangan Takahiro, dalam beberapa bulan semuanya terbongkar. Buruknya, tidak ada satu pun di antara mereka yang sanggup melawan si sulung Eiji.

Pria bermanik kelam itu menahan napas. Namun tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang sedikit demi sedikit kian melebar. Dia akan banyak membunuh lagi. Hari ini berapa orang yang bisa dia siksa lalu habisi?

Walau membunuh orang-orang yang tidak berdaya menyenangkan, Takahiro lebih senang membantai mereka yang memiliki kemampuan balas melawan. Setidaknya, mereka memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang-orang agar melindunginya. Semisal para petinggi di depan matanya saat ini.

Bahkan untuk seorang Eiji Takahiro pun, tidak akan sembarang membunuh mereka yang tidak mencari masalah dengannya. Tapi Takahiro membutuhkannya, dia harus melihat darah yang muncrat dari seseorang, permohonan pengampunan dari mereka yang tidak berdaya, jeritan disaat mereka meregang nyawa.

Menyenangkan sekali.

Hanya memikirkannya saja pun membuat dia bergairah.

"Dua puluh koin mas setara satu anggota tubuh kalian." Takahiro mencecap lidah. "Jadi, berapa di antara kalian yang tidak bisa mengembalikan sejumlah uang yang dulu kalian curi?"

"Kau pikir bisa seenaknya di Negara orang lain?" akhirnya ada seseorang yang bicara. Pria tua dengan janggut putih yang panjangnya nyaris melewati leher. Dia berdiri, menatap Takahiro marah. "Jumlah uang yang kau minta tidak masuk akal! Lagipula aku tidak pernah mengambil apapun dari kerajaan ini. 40 tahun aku mengabdi untuk kerajaan, dan dalam beberapa bulan, kau sudah melemparkan fitnah tidak berdasar."

"Kau ..." Takahiro memiringkan kepala. "Siapa?"

"Aku Perdana Menteri!"

"Oh, begitu?" Takahiro membuka gulungannya. Dia berdehem lalu mengukir senyuman kecil. "Perdana Menteri Hisashi Iwao. Wah, namamu cocok sekali denganmu. Manusia batu yang panjang umur. Jujur saja kau tidak akan sanggup mengembalikan semua uang yang kau ambil sejak tiga puluh tahun yang lalu. Hartamu bisa disita, tapi selir-selirmu tidak berguna. Sebagai informasi, aku tidak tertarik pada wanita."

Takahiro mendelik saat Hirasaki menggembungkan pipi menahan tawa.

"Puterimu yang kau kirim ke kediamanku untuk menggoda dan membunuhku beberapa hari lalu tidak pulang, kan? Kepalanya aku jadikan hiasan pohon di taman belakang paviliunku."

"Kau-!"

"Lalu-!" Takahiro menggeleng kasihan, "Yang bisa kau kembalikan bahkan tidak sampai setengahnya."

Ritsuka menjerit. Dia tidak melihat apa yang terjadi? Tiba-tiba saja kepala Hisashi menggelinding jauh. Tubuhnya ambruk, darah mengucur dari potongan lehernya. Orang-orang yang berada di aula ribut. Takamiya berjalan ke arah sang ratu, bersiaga kalau-kalau Takahiro juga berniat menyerang pemimpin Negara mereka.

Yami No TenshiWhere stories live. Discover now