Dua Delapan ; Yang Tidak Terabaikan

12.5K 2.2K 199
                                    


Sudah dua bulan sejak Takahiro tinggal di Kerajaan Ame. Sedikit demi sedikit, perubahan mulai terlihat. Para tentara yang lebih terlatih, keuangan istana yang dikelola rapi, kekacauan di ibukota kian bisa dinetralisir. Seperti raja bayangan, kedatangan sulung Eiji bagai membawa angin segar untuk Negara yang sudah berada di ambang kehancuran.

Ritsuka menganggukkan apapun yang Takahiro intruksikan. Sebagai seorang Ratu, dia juga tidak mau hanya diam tanpa melakukan apapun. Dia giat belajar, bertanya apapun yang tidak dia mengerti. Mengubah tata letak istana, berusaha semaksimal mungkin agar seandainya Takahiro pergi nanti, Negara Ame tidak mengalami kekacauan seperti semula.

"Hirasaki, kau bawa Ryuu dan lima puluh tentaramu pergi ke Desa Hara. Lokasinya di sini." Takahiro menunjuk satu wilayah yang ada di peta Negara di atas meja kerjanya. "Kudengar para pedagang mengalami kesulitan memasuki wilayah ibukota karena harus membayar pajak yang tinggi pada bandit di sana."

"Ahh." Hirasaki mengangguk-angguk. Negara Ame, didominasi oleh perairan. Satu-satunya jalan menuju ibukota, harus melewati beberapa desa termasuk Desa Hara. Jumlah bandit di sana sebenarnya tidak sebanyak di desa yang lain. Sebagian bahkan sudah Hirasaki lenyapkan saat mereka pertama kali datang ke Negara ini. "Di dekat Desa Hara, ada Desa Yama. Di sana kudengar juga banyak bandit berkeliaran. Warga desa sengsara, mereka berkebun tapi sebagian banyak hasilnya justru dirampas para bandit. Sisanya harus membayar pajak yang tinggi. Tingkat kelaparan tidak perlu dipertanyakan. Mau sekalian saja, Taka-chan?"

"Tidak." Takahiro menggeleng. "Kau cukup fokus ke Hara saja."

"Takahiro-sama, jika Anda tidak keberatan, bagaimana kalau saya yang pergi ke Desa Yama membawa tentara sendiri? Bukankah pekerjaan akan lebih cepat selesai?"

Sore itu, di ruang kerja Takahiro, akhirnya Ryuu membuka suara –memberi saran. Takahiro menatapnya sejenak dan menjawab, "Tidak perlu."

"Tapi-"

"Ryuu kau masih tidak mengerti?" Hirasaki menoleh, menatap pemuda minim pengalaman di sampingnya malas. "Saat kau pergi membawa banyak tentara, sebagai pemimpin, kau bertanggung jawab atas nyawa mereka semua. Kau tidak tahu di Yama itu ada siapa atau lawanmu nanti sekuat apa? Jumlah prajurit di Negara ini masih terbatas, jangankan melindungi mereka, tidak ada jaminan kau bisa melindungi dirimu sendiri.

"Ya, kau memang muridnya Genji. Tapi kau bukan Genji. Kau tidak sekuat dia. Taka-chan tidak akan memberikan tugas seberat itu untuk anak ingusan yang belum sampai dua tahun bisa menggunakan katana." Hirasaki menangkup kedua pipinya memasang wajah nelangsa, "Aku rindu Genji. Kapan dia kembali?"

Ya, kalau saja ada Akari, tugasnya tidak akan sebanyak ini.

Ryuu mengepalkan kedua tangannya. Merasa kesal pada dirinya sendiri. Andai saja dia lebih kuat, pasti tidak akan menjadi beban seperti ini.

"Akari tidak akan datang sampai akhir tahun ini." Takahiro kembali duduk di kursi, membuat Hirasaki kebingungan. "Dia sedang dihukum Kou, mengatasi kekacauan yang terjadi di beberapa desa pesisir."

"Dihukum Heika? Kenapa?" Hirasaki melotot. Kali ini dia benar-benar terkejut. Akari adalah Jenderal milik Kou, sosok yang setia padanya bahkan selalu berada di garis depan untuk melindungi sang raja. Kesalahan macam apa yang membuatnya sampai dijatuhi hukuman seperti itu?

"Dia melakukan percobaan pembunuhan pada Mitsuki."

"Tidak mungkin." Ryuu yang menyanggah. Gurunya tidak akan melakukan tindakan semengerikan itu. Bahkan saat nyawa Mitsuki dalam bahaya, pria itu yang mati-matian melindunginya. "Mana mungkin Sensei melakukan hal segila itu? Semuanya pasti salah paham."

Yami No TenshiWhere stories live. Discover now