Dua Enam ; Satire

12.2K 2.3K 145
                                    


"Jadi, bagaimana?" Takahiro yang duduk di balik meja bertanya. Larut malam, dia masih belum menyempatkan diri beristirahat. Membaca banyak gulungan laporan yang diberikan para petinggi istana. Sulung Eiji tidak menggulirkan pandangan ketika Hirasaki masuk dan duduk di depannya.

"Lebih dari tiga puluh tahanan yang kabur bulan ini."

"Pajak yang tinggi, tahanan yang mudah melarikan diri, tentara kurus kering tidak berdaya, tata letak istana yang berantakan. Terlebih, ratu tidak berguna yang hanya memiliki modal dada berlemak saja." Takahiro mendengus. "Negara yang menyedihkan."

"Bahkan dengan pajak setinggi itu saja persediaan senjata, baju besi, dan lain-lainnya masih terbatas, korupsi di berbagai bidang. Sebenarnya ini seperti sesuatu yang curang." Hirasaki menumpu tubuh dengan kedua tangannya, mendongak sambil mendesis, "mereka hanya mengirim dua ratus tentara tidak berguna. Kau datang setara dengan sepuluh ribu tentaranya. Belum lagi, kau harus menyelesaikan segala problematika di tempat ini."

Takahiro tidak memberi jawaban.

"Hei, Taka-chan, kenapa kau tetap mau melakukannya? Untuk adik yang sudah menyakitimu, adik yang lebih memilih orang lain dibanding kakak kandung yang memprioritaskan dia di atas hidupnya sendiri."

Hirasaki tidak pernah mengerti. Cinta Takahiro yang begitu besar untuk adik-adiknya, tidak sekali pun bisa dia pahami. Takahiro begitu kuat, dia tangguh, dan dianugerahi kecerdasan luar biasa. Di bawah kepemimpinannya, sebuah Negara dijamin makmur bahkan masyarakat pun hidup layak dengan pajak yang rendah. Namun walau begitu, Kerajaan Langit tetap menjadi salah satu kerajaan paling kaya di dunia.

Satu hal yang menjadi kekurangannya, lubang terbesar yang ada dalam sosoknya. Takahiro terlalu mencintai adik-adiknya. Seolah tanpa mereka, dia tidak lagi memiliki alasan tetap hidup di dunia.

Tidak peduli sebanyak apapun Takahiro dilukai. Atau ditinggalkan oleh mereka yang bisa bertahan hidup dalam perlindungannya selama ini. Takahiro tidak pernah menyesal. Dia begitu menikmati perannya sebagai kakak terbaik sampai sekarang.

"Hirasaki." Takahiro meletakkan gulungannya. Dia mengangkat wajah, kali ini menumbuk manik kelam itu dengan abdinya. "Kau bisa membedakan hal baik dan buruk. Cantik dan buruk rupa. Kau memiliki ketertarikan pada wanita, kau bahagia dan menderita untuk berbagai alasan. Hidupmu penuh warna."

Hirasaki mengatupkan bibirnya.

"Aku tidak bisa merasakannya." Takahiro tersenyum. "Hal yang membuatku bahagia adalah kebahagiaan adikku. Yang membuatku terluka ketika adik-adikku menderita. Baik jika itu bermanfaat untuk mereka, buruk kalau itu berpotensi membuat mereka celaka. Aku tidak tertarik pada wanita, secantik atau sebaik apapun wanita di depanku, aku tidak merasakan apa-apa."

Takahiro terdiam, "Kau pikir ... aku senang dengan sosokku yang sekarang? Aku memiliki fisik manusia, tapi tidak seperti manusia. Lalu aku ini apa? Monster pembunuh berdarah dingin yang tidak memiliki rasa simpatik pada orang lain."

Hirasaki mengepalkan tangannya.

"Satu-satunya yang tersisa, hal yang membuktikan kalau aku sama seperti kalian adalah kasih sayangku untuk mereka." Takahiro mengambil gulungan yang lain, kembali tenggelam dalam pekerjaannya. "Karena itu aku tidak akan mengabaikannya."

***

"Aku selesai." Chi tersenyum lebar. Menatap beberapa mochi yang baru selesai dia buat. Chi mengambil satu lalu memakannya, mengangguk-angguk saat yakin rasanya pas.

Pagi buta, Chi sudah berkutat di dapur. Melihat tuannya sudah beberapa hari tidak bisa tidur membuat gadis itu mencemaskannya. Takahiro terlalu sibuk. Satu pekerjaan selesai, dia akan mendapatkan pekerjaan yang lain.

Yami No TenshiWhere stories live. Discover now