Dua sembilan ; Yang Tidak Terabaikan (b)

11.7K 2.2K 272
                                    


Setengah jam yang lalu ...

Kondisi Takahiro memburuk. Dia kurang istirahat sehingga mood-nya mudah hancur. Sulung Eiji selalu memandang sekitarnya tajam, dia mudah membentak dan berteriak. Hirasaki mulai khawatir, kalau tetap dibiarkan, hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum tubuh Takahiro diambil Shinigami.

Pada dasarnya, tidak ada banyak perbedaan yang terjadi saat mereka bertukar jiwa. Hanya saja, Shinigami memang lebih senang membunuh dengan cara yang lebih sadis saja. Ketika Takahiro kesal, Shinigami sepuluh kali lipat lebih kesal darinya. Ketika Takahiro marah, Shinigami yang mengambil alih tubuhnya jelas tidak akan berbelas kasih pada siapa pun demi melampiaskan kemarahannya.

Nahasnya, tidak ada satu pun yang bisa menghadapi Shinigami ketika sosok itu mulai gelap mata.

Pukul tujuh malam, Hirasaki menyarankan agar mereka sesekali mandi di onsen. Ada onsen terbuka di ibukota. Berendam dalam air panas dengan pemandangan langit malam yang bertabur bintang, diharapkan bisa memperbaiki suasana hati Takahiro yang sedang tidak karuan.

Takahiro awalnya menolak. Baginya, mandi di mana pun sama saja. Tapi, melihat Chinatsu yang tampak kecewa saat dia menolak, mau tidak mau dia mengangguk juga. Takahiro, Hirasaki, dan Chi pergi ke onsen hanya berbekal satu kereta kuda.

Sesuai harapan. Begitu menginjakkan kaki di penginapan, suasananya memang membuat nyaman. Rumah kayu sederhana itu memiliki halaman yang luas dan rapi. Bersih dan kebetulan cukup sepi. Tidak ada yang aneh sebenarnya, mengingat Negara ini memang sedang dalam keadaan darurat, tidak banyak wisatawan yang bersedia mampir untuk melepas penat.

Pemilik onsen adalah wanita paruh baya dengan suaminya. Mereka menyambut kedatangan Takahiro penuh suka cita. Satu malam menginap biayanya tiga koin perak dua puluh koin tembaga. Cukup mahal memang. Tapi mengingat pajak Negara yang cukup tinggi, Takahiro memakluminya.

"Taka-chan, Taka-chan." Hirasaki memanggil. Takahiro yang berjalan di sampingnya menyahut. Chi di depan mereka bersenandung riang. Menyusuri lorong menuju pemandian, Hirasaki berbisik, "kapan kau akan memakainya?"

"Apa maksudmu?"

"Kau memelihara Chinatsu, untuk kau pakai suatu hari nanti, kan?"

"Mulut siapa ini yang bicara lancang padaku?" Takahiro meremas wajah Hirasaki membuat pria itu menjerit kesakitan.

"Sakit, Taka-chan." Hirasaki mengeluh. Berusaha melepaskan cengkeraman Takahiro, tapi percuma. Sulung Eiji terlalu kuat untuk dilawan. "Aku hanya bicara apa adanya. SAKIT!!!"

Takahiro melepaskan wajah Hirasaki. Pria itu mengeluh, mengusapi kedua pipinya yang terdapat lebam kebiruan. Lebih kencang lagi, Hirasaki yakin akan ada tulangnya yang retak.

"Maksudku." Hirasaki memberi jeda, "hanya tinggal beberapa bulan lagi usianya menginjak empat belas, kan? Gadis seusianya kebanyakan sudah menikah. Kau lihat baik-baik."

Takahiro meluruskan pandangan, menatap Chi seksama.

"Dia tinggi, langsing, dan seksi. Yang paling penting oppai-nya sudah tumbuh besar. Sayang sekali kalau bocah yang kau rawat dengankasihsayangtidaknormalmu itu pada akhirnya dinikahi orang lain." Sengaja, Hirasaki mempercepat kalimat tengahnya agar Takahiro tidak menangkap jelas. Dia lagi-lagi menjerit saat kali ini yang dicengkeram sulung Eiji justru batok kepalanya.

"Ada apa Takahiro-sama?" Chi menghentikan langkah lalu berbalik. Menatap sang Tuan yang kali ini menendang perut Hirasaki sampai terlempar beberapa meter. Jenderal milik Takahiro itu justru terbahak-bahak. Takahiro balas menatap Chi, dia memiringkan wajah dengan iris kelamnya yang nyaris tidak berkedip.

Yami No TenshiWhere stories live. Discover now