Part 38 When We First Met

5.7K 823 13
                                    

Ingatanku memutar ulang pertemuan pertama kami sepuluh tahun yang lalu.

Aku menatap langit biru di angkasa yang dihiasi awan putih dan sang surya. Matahari membalas tatapanku dengan sinar menyilaukan. Kualihkan pandanganku ke arah cowok dan cewek yang sedang hunting foto untuk lomba fotografi bertema human interest. Objek fotonya adalah manusia-manusia di dalam kompleks sekolah. Aku dan teman-temanku pun tidak luput dari bidikan kamera mereka.

SMA Philomena 1 merayakan ulang tahun ke-50 dengan menggelar berbagai lomba dan pentas seni selama dua hari. Lomba-lomba itu diikuti oleh murid sekolah lain. Dan, kehadiran cowok-cowok seusiaku yang berkeliaran di halaman memberi warna berbeda. Biasanya, laki-laki yang kulihat hanya guru dan pegawai sekolah.

Mataku menangkap gerakan seorang pria paruh baya bercelana cutbray dan kemeja ketat. Dia adalah Pak Wardi, guru seni sekaligus salah satu pembina Pramuka.

"Ayo, La buruan," desak Vero panik karena Pak Wardi berjalan semakin dekat. Cewek bertubuh kurus itu berdiri sambil membawa kantong plastik besar dan tongkat pemulung.

Aku bangkit dari lantai dengan malas. "Oke."

Maria menyodorkan tongkat pemulung padaku. "Dengan tongkat ini saya mengangkat Lalitya menjadi petugas kebersihan sekolah," ujar cewek berambut pendek itu.

Kusambar plastik hitam besar di sebelah kiriku dan kuterima tongkat yang diberikan Maria. "Makasih Maria. Saya akan melaksanakan tugas dengan baik meskipun malas."

Tawa kami meledak. Kuputar tubuhku ke arah halaman. Aku melihat gerombolan cowok sedang melempar botol air minum ke tempat sampah dari jarak jauh. Beberapa di antara mereka gagal memasukkan botol ke tong sampah dan membiarkan benda itu tergeletak di atas tanah. Lalu, mereka mengeloyor pergi sambil bercanda. Tawaku pun menghilang.

Aku meninggalkan kedua temanku dan berjalan ke halaman. Kupungut botol dengan tongkat dan kumasukkan ke tempat sampah. "Dasar anak-anak enggak tahu diri."

Setelah itu, kususuri halaman sekolah dengan tongkat pemulung di tangan kanan dan kantong plastik hitam besar di tangan kiri. Aku memandang seorang cowok yang berjalan di dekat gerbang sekolah sambil merogoh saku celana. Kulihat sebuah lipatan kertas jatuh dari sakunya. Entah dia sengaja menjatuhkannya atau tidak.

Kujatuhkan plastik yang kupegang ke tanah. "Hei, kamu!"

Cowok itu menoleh, lalu menunjuk dirinya dengan telunjuk kanan.

Aku mengangguk. Dia memutar badan dan berhadapan denganku. Kami terpisahkan jarak kira-kira dua meter. Dia tinggi, badannya agak kurus dan rambutnya bergaya shaggy sebahu. Wajahnya yang kebule-bulean tidak sinkron dengan kulitnya yang sawo matang. Aku menjatuhkan pandangan ke kaos hitamnya yang bertuliskan Albertus Magnus Senior High School, lalu mengangkat wajah.

Dia siswa sekolah homogen. Pantes rambutnya gondrong. Albertus Magnus adalah SMA swasta khusus cowok, yang memperbolehkan siswanya memanjangkan rambut. Sekolah kami berada dalam satu yayasan dan bersaudara.

"Ada yang bisa dibantu?" tanyanya.

Aku membuka mulut, lalu menutupnya.

Kenapa aku manggil dia?

Dia menatapku bingung. Kugaruk kepalaku dengan tangan kiri, kemudian kuturunkan karena tiba-tiba aku ingat betapa kotornya tanganku.

Oke. Fokus. Dia buang sampah sembarangan. Aku harus membunuhnya dengan kata-kata.

"Kenapa buang sampah seenakmu," omelku sambil mengacungkan tongkat ke arahnya.

Matanya yang berwarna cokelat terang berbinar kagum. "Wow, kamu mirip pembunuh di film I Know What You Did Last Summer!" serunya sambil mengangkat kedua tangan, seakan-akan dia sedang menyerahkan diri.

Love Me If You DareUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum