Part 36 Su Ex Novia

5.2K 870 61
                                    

Aku berjalan sambil menguap berkali-kali. Mataku masih berjuang untuk melek. Perutku sudah berteriak-teriak minta diisi. Hidungku menangkap aroma kopi yang semakin kuat seiring dengan langkahku yang hampir mencapai dapur. Ketika sampai di dapur, aku langsung mengambil cangkir dari rak. Kumasukkan teh celup yang kubawa dari kost ke dalam cangkir, lalu kutambah gula.

"Tumben telat. Kirain enggak masuk," ujar Kai.

"Telat bangun," balasku sambil menaruh cangkir di bawah keran dispenser, lalu kutekan tuas air panas.

Tadi malam magku kumat dan membuatku tidak bisa tidur. Aku lupa jam berapa mataku terpejam. Yang kuingat adalah aku baru bangun pukul delapan. Jadi, aku terpaksa naik ojek ke kantor karena terburu-buru. Bahkan aku belum sempat ngeteh. Jam di absensi menunjuk pukul 09.25 waktu aku tiba.

Kai menyeruput kopinya. "Susah tidur karena mikirin aku?"

Aku mengambil cangkirku, lalu mengaduk gula. "Kapasitas otakku sudah penuh, jadi enggak ada ruang buat mikirin kamu."

"Oke."

Aku memandangnya bingung. Dia membalas tatapan mataku dengan senyum misterius.

"Ini buburnya, Mbak." Suara Supri membuatku mengalihkan pandangan mataku ke arah pintu. OB kantorku itu membawa tas plastik warna putih. Dia mengulurkan tas itu padaku.
Kupindah cangkirku dari tangan kanan ke kiri, lalu kuterima plastik itu.

"Makasih. Kembaliannya buat kamu," ujarku.

"Makasih, Mbak," balasnya, lalu dia keluar dari dapur.

Kulangkahkan kakiku menuju teras belakang. Sampai di sana, aku menyeret kursi dan mendudukinya. Kukeluarkan wadah berbahan styrofoam dan sendok plastik dari tas kresek. Kubuka styrofoam itu, lalu kusendok sesuap bubur ayam.

Aduh!

Bukannya berterima kasih, perutku malah bertingkah. Rasanya seperti ditusuk-tusuk. Obat magku ada di dalam tas, jadi aku belum bisa menenangkan perutku. Aku menunggu beberapa saat sebelum memasukkan suapan kedua ke dalam mulut. Suara langkah kaki membuatku menoleh ke kanan. Kai berjalan sambil membawa cangkir.

"Kamu belum makan?" tanyanya.

Aku mengangguk sambil mengunyah. Dia duduk di depanku sambil minum kopi.

"Jumat minggu depan, aku butuh asisten buat workshop di sekolah," ujarnya.

"Aku sudah pensiun jadi asisten gratisan," balasku. "Kalau bayar harus pakai dolar, euro atau poundsterling. Rupiah enggak laku di luar negeri."

"Emang kamu mau ke mana?"

"Suatu tempat yang jauh."

Alisnya terangkat. "Sama siapa?"

"Bisa sendiri, bisa berdua," ujarku.

Dia tertawa. "Ini perintah atasan pada bawahan."

"Kalau aku enggak mau gimana?"

"Aku bisa mecat kamu," ujarnya santai.

Kuletakkan sendok ke atas styrofoam. Aku selalu lupa dengan fakta bahwa dia ini bisa dibilang bosku. Sebagai salah satu pendiri perusahaan, dia memang memiliki kuasa untuk membuat keputusan. Tapi, bukan berarti dia bisa main pecat sesuka hati.

"Jangan repot-repot. Aku bakal memecat diri sendiri sebelum dipecat," kataku.

Dahinya berkerut. "Kenapa?"

"Memecat diri sendiri itu lebih terhormat daripada dipecat."

"Kamu gila hormat," ujarnya geli.

"Meskipun sekarang kita hidup di jaman harga cabai lebih mahal daripada harga diri, tapi menjaga harga diri itu penting. Bapak selalu bilang kalau aku harus selalu menjaga harga diriku. Menurut Bapak, sekali aku membiarkan orang lain menginjak harga diriku, untuk selamanya harga diriku tidak ada di mata orang itu," terangku.

Love Me If You DareWhere stories live. Discover now