Part 37 A Girl in A Plaid Pleated Skirt

5.3K 935 44
                                    

"Ayo berangkat."

Aku mengalihkan pandangan mataku dari layar laptop dan melihat Kai berdiri di depanku. Dahinya berkerut dalam, lalu kerutan itu perlahan menghilang.

"Sekarang?" tanyaku.

"Besok," balasnya, lalu masuk ke ruangannya.

Tiga hari enggak ketemu bukannya seneng lihat aku kok malah bad mood, sih. Mungkin dia salah makan obat.

Kusimpan terjemahan yang sedang kukerjakan, lalu kututup dokumen dan semua tab di browser. Kemudian, aku mematikan laptop.

Kai muncul lagi. "Ayo," ajaknya.

Aku bangkit dari kursi dan mengambil botol minum dari meja. Lalu, kusambar tasku dan kucangklong. Aku menyusul Kai keluar ruangan.

"Kamu sudah sembuh beneran?" tanyaku saat kami sudah sampai di parkiran.

Dia mengangguk. Kutempelkan telapak kananku ke dahinya. Suhunya normal. Aku pun menurunkan telapakku.

"Kamu bilang kaos itu norak. Kenapa dipakai?" tanyanya sambil memandang kaos pemberian Tristan yang kupakai. Kaos bertuliskan, "I Love Swedish Boys" itu kupadu dengan bolero berbahan tenun.

Aku mendecak kesal. "Apa pun baju yang kupakai atau aku mau bugil apa urusannya sama kamu?"

"Kalau kamu bugil di jalan, nanti dikira orang gila," ujarnya geli.

"Siapa tahu aku lagi ikut demo anti pemakaian bulu dan kulit binatang untuk industri fesyen," ujarku. Dia menahan senyum. Aku bersedekap. "Oke. Aku kasih dua pilihan. Aku jadi asistenmu, tapi pakai baju ini atau kamu cari asisten lain. Aku enggak peduli kalau kamu mecat aku sekarang."

Wajahnya berubah menjadi datar. "Ayo naik," balasnya jengkel.

Aku naik ke mobil dan memasang sabuk pengaman. Kai menstarter mobil. Honda CRV itu bergerak meninggalkan tempat parkir dan masuk jalan raya. Kami melewati jalan yang dulu sering kulintasi. Ini adalah jalan menuju SMA-ku. Beberapa saat kemudian, mobil sampai di bekas sekolahku.

"Ini kejutannya?" tanyaku.

"Masih ada lagi," balasnya sambil membuka pintu, lalu turun dari mobil dan menuju bagasi.

Aku turun dan memandang gedung dua lantai bercat putih di depanku. Di sisi kiri ada bangunan tiga lantai dengan warna cat senada. Semua masih sama, tidak ada penambahan gedung baru atau renovasi yang mengubah bentuk asli.

Kai berdiri di depanku sambil menggendong ransel, lalu menyodorkan tripod. "Bawain, ya."

Kuambil tripod berbungkus wadah warna hitam itu. Lalu, aku dan Kai berjalan menyusuri lapangan basket. Kami berpapasan dengan rombongan siswi berkemeja putih lengan pendek dan rok kotak-kotak perpaduan warna biru dan abu-abu. Itu adalah seragam andalan SMA Philomena. Salah satu alasanku memilih sekolah ini adalah karena seragamnya keren. Setiap memakai seragam itu aku merasa bisa menjelma sebagai Rory Gilmore yang cerdas dan socially awkward. Atau aku bisa menjadi Blair Waldorf yang bitchy. Semua tergantung kebutuhan. Bukankah semua manusia memiliki banyak sisi.

Mataku memindai rombongan gadis muda yang berjalan sambil membawa alat tulis itu. Beberapa di antaranya mengenakan rok yang lebih pendek dari teman sekelas mereka dan kemeja yang lengannya digulung. Ada juga sejumlah siswi yang memakai rok di bawah lutut, sesuai peraturan sekolah. Ternyata isi sekolah ini masih sama, bad girl, gadis pingitan dan siswi yang tidak masuk dua kategori itu. Gadis pingitan adalah anak yang memiliki bapak super protektif. Bahkan mereka harus minta izin sang ayah kalau mau memotong rambut atau mencat kuku. Gadis pingitan paling gampang dikenali karena sejak awal masuk sekolah hingga mau lulus, panjang rok mereka sama. Sementara siswi yang masuk dua kategori lain memakai rok di atas lutut. Untuk gadis binal kadang rok mereka semakin pendek begitu naik kelas.

Love Me If You DareOnde as histórias ganham vida. Descobre agora