Part 27 ¡Hasta Mañana!

6K 848 77
                                    

"Kai datang jam berapa? Kenapa enggak bisa ditelpon?"

Konsentrasiku menerjemahkan artikel tentang Raja Ampat yang ditulis salah satu kontributor Plesiran di Papua Barat langsung buyar. Aku mendongak dan menatap Bu Mariana yang berdiri di depan mejaku.

"Saya enggak tahu, Bu."

"Oh," jawabnya singkat, lalu dia memutar tumit dan melangkahkan kaki ke kantornya.

Dari tadi orang terus bertanya kepadaku Kai datang pukul berapa. Jam sudah menunjuk ke angka sebelas, tapi dia belum muncul. Jumat malam, Kai pulang ke Bali. Dia selalu menyempatkan diri untuk ke Bali sebulan sekali. Biasanya dia naik penerbangan terakhir dari Denpasar pada Minggu malam. Tapi, kali ini dia balik Rabu pagi karena Senin kemarin hari kejepit. Jadi, dia memperpanjang liburannya. Seharusnya sekarang dia sudah sampai di Jakarta.

Kuraih ponselku untuk mengirim pesan kepadanya.

Kamu di mana? Ngantor jam berapa?

Beberapa saat kemudian, ponselku berdering. Caller ID menunjukkan nama Kai.

Bukannya balas pesan, kenapa malah nelpon?

Aku bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari ruangan, mencari tempat yang sepi.

"Halo," sapaku sambil mengayunkan kaki menuju teras belakang. "Kamu di mana?"

"Bandara." Ucapannya bersaing dengan suara pengumuman dan gemuruh mesin pesawat terbang.

"Bandara mana?"

"Cengkareng. Tadi pesawatnya delay tiga jam."

"Siapa suruh naik si Raja Delay?"

Dia tertawa.

"Lain kali kalau mau datang telat bilang sama Bu Mariana atau Melanie, dong!" usulku.

"Kenapa?"

"Biar orang enggak nanya terus."

"Lain kali aku bilang kamu."

Aku sampai di teras dan menghempaskan pantat di sofa panjang. "Aku bukan sekretarismu."

"Kamu mau jadi sekretarisku?" tanyanya.

Ogah!

"Kalau kamu berani bayar seratus dolar per jam, aku mau," balasku.

"Gimana kalau seratus ribu per jam?"

"Sorry, enggak menerima rupiah. Hanya menerima dolar, euro sama poundsterling."

"Oke. Nanti kita bahas lagi kalau aku sudah sampai di kantor." Dia mengakhiri pembicaraan kami.

Aku kembali ke ruanganku dan melanjutkan pekerjaanku. Kai baru datang ke kantor pas jam makan siang berakhir. Pulangnya, dia naik bus bareng aku karena tidak membawa mobil. Kami naik Transjakarta dari Terminal Blok M dan berhasil mendapatkan kursi berdampingan. Bus yang kami tumpangi berjalan pelan menembus kemacetan ibu kota.

Kubuka tasku untuk mengambil earphone dan ponsel. Setelah memasang earphone ke kedua telingaku, aku memutar musik secara acak. Lalu kumasukkan ponselku ke dalam tas yang ada di pangkuanku tanpa menutup ritsletingnya.

Tanpa diduga Kai mencopot earphone dari telinga kiriku. Aku menoleh kaget.

"Ayo kita dengerin musik favorit Lalitya," ujarnya sambil memasang earphone ke kuping kanan.

Kupindah earphone yang kupasang di telinga kanan ke indra pendengarku sebelah kiri. Suara Norah Jones yang selembut bisikan mengalun pelan dari ponselku.

Love Me If You DareWhere stories live. Discover now