Part 17 Love Moves in Mysterious Way

7.1K 882 42
                                    

"Akhirnya sampai juga," kataku lega.

Setelah muter-muter dan kesasar, aku dan Nandini sampai di lokasi resepsi Calista. Resepsi digelar di resort yang ada di Bogor. Kami ke sini naik mobil. Nandini agak payah dalam membaca peta, jadi kami saling membantu. Dia sebagai sopir dan aku sebagai navigator. Jika duet Sebastien Loeb dan Daniel Elena sudah membuahkan gelar juara dunia rally, duet kami mengantarkan kami ke tujuan dengan selamat. Meskipun pakai nyasar, gara-gara mengandalkan GPS. Akhirnya, kami bertanya pada penduduk sekitar. And, here we are.

Aku melepas kepang rambutku, lalu menyisir rambut dengan jari-jariku sambil berkaca di kamera depan ponselku. Kuamati rambutku yang bergelombang hasil dikepang sejak bangun tidur. Ini adalah life hack seorang pemalas untuk mendapatkan rambut bergelombang karena aku tidak memiliki hair curler. Selesai menyisir rambut, aku memakai lipbalm warna merah darah. Nandini yang duduk di sebelahku sedang memoles lipstik warna nude pink.

"Yuk," ajak Nandini.

Aku mengangguk, lalu turun dari mobil diikuti oleh Nandini.

Kami berjalan melewati jalan setapak menuju lokasi resepsi, yang diadakan di luar ruangan. Lebih tepatnya di atas rerumputan hijau yang masih agak basah gara-gara hujan tadi malam. Akibatnya, sepatu dan kakiku kotor karena ketempelan rumput. Untungnya, cuaca hari ini sangat mendukung karena matahari bersinar cerah.

Setelah mengisi buku tamu, kami mendapatkan suvenir berupa kipas berwarna pink. Lalu, aku dan Nandini celingak-celinguk mencari Yolanda, teman kami yang tinggal di Bogor. Dia bilang kalau sudah sampai, tapi batang hidungnya belum kelihatan.

"Hai!" teriak seorang cewek berkulit gelap, yang serba pink dari atas ke bawah, dengan heboh. Dia memakai gaun pendek berwarna hot pink ngepas badan yang menonjolkan lekuk tubuhnya, sepatu model ankle strap heels hot pink, eye shadow hot pink, bando juga hot pink. Cewek itu adalah Anita, teman kuliah kami. Dandannya memang agak norak, dia suka warna-warna mencolok. Saking hebohnya, teman jaman kuliah suka nyindir, "Anita kamu mau dangdutan di mana?" Untungnya sih orangnya tebal muka, mau disindir atau diejek dia tetap cuek.

"Hai," balasku, lalu cipika cipiki dengannya. "Sendirian?"

"Suamiku lagi tugas ke luar kota," jawab Anita.

Dia menikah tahun lalu. Aku diundang, tapi tidak datang karena pas liburan ke Thailand.

"Sorry ya, aku enggak bisa datang ke nikahanmu," kataku.

"Enggak apa-apa. Kalian gimana? Udah ada calon?"

Aku dan Nandini hanya berpandangan. Pertanyaan ini selalu muncul ketika kondangan.

"Apa mau dicariin?" tanya Anita lagi. Aku baru mau membuka mulutku dan memberi jawaban sadis, Anita buru-buru menambahkan, "Enggak usah cari ya, mending dicari."

Aku dan Nandini hanya diam saja.

"Kamu masih buka butik?" tanya Nandini.

Lulus kuliah, Anita membuka butik di Bogor. Aku belum pernah ke sana, tapi dalam bayanganku barang jualannya pasti Anita banget alias agak-agak norak.

"Iya, masih. Eh, La sekarang kamu jualan baju ya?"

Aku mengangguk. "Kamu beli bajuku dong, buat dijual di butik. Apa numpang jualan di butikmu boleh?" Meskipun baju rancanganku sangat tidak Anita, tapi tidak ada salahnya kan dicoba.

"Oh, boleh banget tuh. Kamu titip jual ke aku, nanti bisa diatur."

Anita memandang kami dari atas ke bawah dengan mata berbinar.

Love Me If You DareWhere stories live. Discover now