Part 5 Mr. Right vs Mr. Wrong    

9.8K 1K 21
                                    

Sengatan sinar matahari menusuk kulitku ketika aku kembali ke kost saat makan siang. Aku melihat mobil Kai diparkir di tempat pertama kali kami bertemu. Kai membuka pagar rumah yang sederet dengan kostku. Hanya selisih tiga rumah. Rumah itu juga kost-kostan. Pacar Cesta, Manuel, kost di situ. Aku belum pernah ke sana. Menurut Cesta kost itu khusus cowok dan lebih bebas dari kost kami. Lawan jenis bebas keluar masuk kamar. Tidak seperti kost kami, yang melarang cowok masuk ke dalam kamar. Tapi, tetap saja ada anak kost yang sering membawa masuk pacarnya.

"Hai Lalitya," sapa Kai.

"Hai," balasku.

"Udah balik kantor?" tanya Kai.

"Er... enggak kok, cuma mau ke kost aja," jawabku.

"Buat makan siang?" tanya Kai sambil menunjuk tas kresek warna putih berisi sebungkus nasi yang kubeli di warteg.

Membeli makan di rumah makan Padang atau warteg adalah salah satu strategi penghematan ala anak kost karena nasi putih di sana porsinya banyak jadi bisa di makan dua kali. Dengan dua lauk kita bisa makan dua kali dengan lauk berbeda.

"Mm... iya. Aku balik dulu ya," pamitku. Sebelum Kai mengajukan lebih banyak pertanyaan, aku buru-buru kabur. Tidak ada waktu buat basa basi. Aku benci basa-basi. Tapi, kenapa sih belakangan ini sering banget ketemu sama dia?

"Eh, tunggu!" teriak Kai.

Aku berhenti dan membalik badan. Mataku bertatapan dengan matanya. Dia berjalan mendekat.

"Pencariannya belum selesai?" tanya Kai.

Aku menatapnya bingung karena tidak mengerti maksudnya. "Maksudnya?" tanyaku.

"Kamu masih kerja di kantor lama, berarti belum dapat kerjaan baru," jelas Kai.

"Oh, iya," balasku.

"Kamu cari kerjaan kayak apa?" tanya Kai.

"Kenapa? Kamu ada lowongan?" balasku,

"Sekarang sih enggak ada. Siapa tahu ada kenalan yang buka lowongan," kata Kai.

Aku berpikir sejenak. Tipe orang kayak Kai pasti punya jaringan pertemanan luas. Bukan enggak mungkin kalau ada kenalannya yang buka lowongan pekerjaan yang kuinginkan. Jaman sekarang mendapatkan pekerjaan melalui jaringan pertemanan biasanya lebih cepat. Meskipun feeling-ku mengatakan aku harus menghindari cowok ini. Tipe charmer kayak dia jenis yang harus dijauhi. Tapi, enggak ada salahnya kan dapat lowongan dari dia.

"Aku cari kerjaan editor, penerjemah apa media monitoring. Semacam itulah," balasku.

Kai mengangguk. Aku melirik jam tanganku, sudah jam setengah satu. Untung tadi pagi sudah mandi, jadi tinggal makan siang. Dan, aku hanya punya waktu tiga puluh menit untuk makan siang dan balik kantor. "Aku balik dulu ya," pamitku untuk kedua kalinya.

"Mau ditemenin makan siangnya?" tanya Kai.

Dia tersenyum. Semakin dilihat semakin familier, tapi sampai sekarang aku masih belum tahu kenapa dia familier. Teman TK, SD atau SMP enggak mungkin karena enggak ada yang keturunan bule. Teman SMA lebih enggak mungkin lagi kecuali dia ganti kelamin. Kayaknya bukan teman kuliah. Tahu ah.

"Enggak, makasih," balasku. Aku membalik badan dan berjalan cepat menuju kostku.

Sampai di depan kost, aku memencet bel. Mbak Yani membuka pagar dan membiarkanku masuk. Aku berpapasan dengan Manda yang siap-siap keluar bersama pacarnya yang mirip Lee Min Ho. Mereka tersenyum. Aku membalas senyum mereka, lalu masuk ke ruang tamu dan naik ke tangga menuju kamarku.

***

Aku berulang kali mengucek mataku yang terasa berat. Mataku terus menolak untuk melek. Otakku masih belum nyambung, pikiranku masih gagal fokus. Aku melirik jam tanganku. Sialan! Sudah hampir pukul setengah tujuh pagi, tapi belum berhasil meringkas satu berita pun, umpatku dalam hati.

Love Me If You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang