Part 3 Manic Monday    

14.9K 1.2K 7
                                    

Hari Sabtu dan Minggu selalu kutunggu. Senin adalah hari yang paling bikin malas. Seperti biasa, aku bangun pagi dengan enggan. Saking malasnya aku berangkat ke kantor tanpa mandi. Jam kantorku agak ajaib, masuk pukul enam pagi dan pulang pukul tiga sore. Aku bekerja di Media Monitoring yang memantau berita untuk klien. Kami memantau berita klien sekaligus pesaing klien dan industri yang dijalani klien. Nah, ringkasan berita itu ada yang sudah harus diterima oleh klien pada pukul sembilan pagi, baik dalam versi bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Ketika aku berangkat, jarum jam hampir menunjuk ke angka enam. Anak-anak kost ada yang baru bangun, ada yang sudah mandi dan bersiap-siap berangkat kerja. Aku berpapasan dengan Michelle yang baru saja menjemur handuk. Dia bekerja sebagai guru SD, jadi berangkat kerja lebih awal dari yang lain.

"Manohara kemarin bawa masuk cowoknya," kata Michelle, sambil memandang ke bawah, lalu membungkuk untuk meminggirkan gelas yang ada di depan kamar Manohara agar tidak kesenggol.

Manohara adalah julukan yang kami berikan untuk salah satu anak kost. Nama aslinya Manda, anak kuliah, yang wajahnya mirip sama Manohara. Orangnya cantik dan seksi, tapi joroknya minta ampun. Setiap kali habis mencuci pakaian, tempat cuci pasti berantakan. Dia juga suka meninggalkan gelas dan piring bekas di depan kamarnya. Tanpa peduli meskipun ada semut yang mengerubuti.

"Biasa," balasku. "Duluan ya," kataku sambil berjalan menuju tangga yang mengarah ke dapur.

Prang. Aku mendengar suara gelas pecah yang diiringi pekikan Michelle, "Oh, no!"

Aku menoleh ke belakang. Michelle sedang memunguti pecahan gelas yang tersebar di depan kamar Manohara. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Michelle si Ratu Clumsy pagi-pagi sudah memecahkan gelas.

Aku menuruni tangga yang bentuknya melingkar dengan hati-hati. Biasanya jam segini Mbak Yani dan Mbak Emi sedang sibuk di dapur, entah mencuci piring atau menanak nasi. Mbak Emi yang sedang mengelap piring melihatku dan langsung berjalan ke kamarnya untuk mengambil kunci pagar. Dia berjalan ke halaman dan membuka gembok. Aku mengambil sepasang sandal dengan kaki kananku dan memakainya. Ini adalah trikku agar tanganku tetap bersih.

"Makasih, Mbak," kataku sambil keluar dari halaman kost.

"Iya, Mbak," balas Mbak Emi sambil menutup pagar, lalu mengunci gemboknya.

Aku membenarkan letak tas yang kucangklong dan bersiap untuk berangkat.

"Pagi, Lalitya," sapa pemilik Oliver. Sampai sekarang aku belum tahu namanya.

"Pagi juga," balasku sambil memandang cowok yang memakai kaos oblong, celana pendek dan sneakers. Sepertinya, dia sedang mengajak Oliver jalan-jalan. Lalu, aku membelai kepala Oliver. Anjing itu menjulurkan lidah karena haus.

"Kailash. Panggil saja Kai." Cowok itu memperkenalkan dirinya tanpa diminta. Lalu, dia memamerkan senyum manis. "Kamu ngekost di sini?"

"Iya," jawabku. Aku melirik jam tanganku dan baru ingat kalau aku harus segera berangkat agar tidak telat. "Sorry, aku harus berangkat, nih."

"Kamu kerja di mana?" tanya Kai.

"Dekat sini," jawabku singkat. Kai manggut-manggut. "Aku berangkat dulu, ya." Aku melambaikan tangan ke arah Kai dan berjalan menuju kantorku.

"Hati-hati, ya!" teriak Kai.

Aku menoleh ke belakang dan melihat Kai sedang melambai ke arahku sambil tersenyum. Kemudian kualihkan tatapanku ke depan dan berjalan dengan tergesa-gesa. Sampai di kantor, aku langsung absen, lalu berlari menuju ruanganku.

"Pagi, Pak." Aku menyapa dua seniorku, Pak Barry dan Pak Musa yang duduk di depanku.

Komposisi meja kantorku tidak asyik karena tanpa sekat. Pemandanganku adalah dua seniorku itu. Meskipun, mayoritas pegawai di sini adalah cowok, tapi tidak ada eye candy.

Love Me If You DareWhere stories live. Discover now