Part 23 A Good Book vs a Shirtless Guy

6.6K 883 8
                                    

Minibus berisi sembilan belas penumpang yang kunaiki terasa sumpek. Kututup hidungku dengan syal, tapi lama-lama aku kesulitan bernapas. Campuran antara bau minyak angin yang digunakan Bu Veni, HR & Legal Officer Plesiran, dan keripik kentang rasa keju yang dimakan Baby dan Mona membuatku ingin memuntahkan makan siangku sekaligus membuat kepalaku berputar-putar. Kalau tidak segera mendapatkan udara segar, aku bisa pingsan. Keadaan ini diperburuk dengan AC super dingin yang membuatku menggigil.

Menyebalkan! Kenapa sih rapatnya pakai jauh-jauh ke Anyer? Coba ada pintu ke mana sajanya Doraemon atau bisa teleport pasti sudah sampai dari tadi.

Ponselku berdering menandakan ada pesan masuk. Kuraih ponselku dari dalam saku jaket, lalu membacanya.

Tristan: Hello?

Lalitya: Thank God, you're alive. Where have you been?

Sudah hampir dua minggu kami tidak mengobrol. Dia agak susah dihubungi. Entah

dia ada di mana sekarang.

Tristan : Here and there.

Lalitya: Kamu di mana?

Tristan: Puerto Princessa. Apa kabar?

Lalitya: Kamu di Filipina. I'm dying here.

Tristan: Why? Where are you?

Lalitya: Aku terjebak di dalam minibus dalam perjalanan ke Anyer untuk acara kantor.

Seseorang memakai cajeput oil, terus ada yang makan juga. Baunya membuatku

pusing. I need oxygen.

Tristan: It sounds terrible. Don't forget to call me when you need CPR.

Lalitya: Hahaha... Very funny. Have you read the book?

Tristan: Yup. Kurt Cobain is a sensitive, unpredictable and fragile dude.

Kendaraan berkapasitas dua puluh penumpang ini berjalan pelan. Aku melihat papan nama hotel tempatku akan menginap. Akhirnya aku bisa menghirup udara segar.

Lalitya: Iya. TTYL.

Tristan: See you soon.

Minibus berhenti di depan lobi, aku langsung keluar dan menghirup udara. Setelah check-in adalah acara bebas. Jam menunjuk pukul tiga sore. Beberapa orang kantor memilih berenang, sedangkan aku membaca buku Tarian Bumi karangan Oka Rusmini di pinggir kolam. Gelak tawa dan suara kecipak-kecipuk orang yang ada di kolam renang membuatku susah konsentrasi. Tadinya, aku mau membaca di dalam kamar, tapi masa jauh-jauh ke Anyer cuma ngendon di kamar. Lagian mengurung diri di kamar sambil membaca buku itu sangat anti-sosial. Meskipun kenyataannya aku memilih duduk di kursi malas yang sepi. Ukuran kolam renang ini besar dan panjang. Bentuknya bukan kotak atau lingkaran, tapi berlekuk. Tidak ada orang yang berenang di dekatku, kebanyakan perenang memilih berenang di dekat pool bar. Jadi, aku masih bisa menemukan kesendirian. Dari sini aku juga bisa mencium bau laut dan mendengar debur ombak. Kebetulan jarak antara kolam renang dan pantai sangat dekat. Aku memaksakan diri untuk membaca.

"Kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan

beratus-ratus pertanyaan yang harus kausimpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memilki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap berikutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya. Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kaumunculkan sendiri. Setelah itu, endapkan! Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan pertanyaanmu itu menguasai otakmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil risiko."

Love Me If You DareWhere stories live. Discover now