Part 34 Don't Waste Your Heart

5.7K 832 31
                                    

Aku menaruh cangkir berisi gula dan teh celup di bawah keran air panas dispenser, lalu menekan tuas warna merah. Setelah terisi penuh, kuambil cangkir itu dan kuputar badanku.

"Lagi bete, ya?" tanya Cesta sambil menatapku.

"Aku pengin membunuh seseorang."

"Siapa?" tanyanya, lalu menyeruput teh dari cangkirnya.

"Enggak tahu."

Michelle berjalan mendekati kami dengan wajah ditekuk. "Baca, deh," ujarnya sambil menyodorkan ponsel.

Cesta mengambil ponsel dari tangan Michelle, lalu kami membaca pesan itu.

"Temanku umurnya 25 tahun, masih single dan ganteng. Suami idaman. Kukenalin, ya?"

Teman Michelle juga mengirim swafoto seorang cowok berkulit putih dan berambut cepak di gym. Dia memakai kaos kutung yang memperlihatkan otot-otot lengan.

"Dangdut enggak, sih?" cetus Michelle sebal.

"He's so full of himself," sahut Cesta.

"Cowok yang tidur di gym," ujarku sambil mengaduk gula.

"Temenmu nyebelin. Emang kenapa kalau kamu jomblo?" tanya Cesta.

"Orang-orang itu sadar enggak sih kalau menyinggung perasaan," kataku.

"Mereka kasihan sama aku, padahal aku enggak butuh dikasihani," ujar Michelle.

"Justru aku mengasihani orang yang bertahan dalam toxic relationship," timpalku.

"Kayak Mbak Marga," tukas Cesta sambil mengembalikan ponsel ke pemiliknya.

"Atau Erika." Michelle menyebut teman kuliahnya yang jadi korban kekerasan pacarnya. "Kok dia mau diperlakukan kayak gitu sama Boby?"

"Sebenarnya Erika pengin putus, tapi Bobby ngancam mau bunuh diri. Dia kan cowok posesif. Erika juga dilarang temenan sama aku," ungkap Cesta.

"Biarin bunuh diri, kan Bobby yang nanggung dosa," balasku.

"Untung akhirnya mereka putus," tambah Michelle.

"Kenapa sih orang-orang enggak mencintai diri sendiri?" tanya Cesta.

Aku mendecak kesal. "Kalau ada orang yang mencintai diri sendiri malah disebut egois. Atau orang yang menghargai diri sendiri malah dibilang sombong."

"Aku berangkat, ya," balas Michelle. Dia memutar tumit, lalu berjalan menuju tangga.

Aku dan adikku langsung masuk ke kamar kami. Habis mandi dan sarapan, aku memaksa diriku berangkat ke kantor. Sampai di depan rumah Kai, aku tidak melihat mobilnya diparkir di pinggir jalan atau di halaman. Tapi, ada Honda Scoopy warna merah di pekarangan.

Apa Kai berangkat duluan tanpa ngasih tahu? Baguslah, aku bisa berangkat sendiri.

Tiba-tiba, Kai muncul sambil membawa dua helm. Dia menggantung kedua benda itu ke spion motor, lalu menuntun motor keluar dari halaman.

Kai menatap wajahku lekat-lekat dengan mimik serius. "Kenapa?"

Aku menggeleng.

"Kamu kayak pengin membunuh seseorang," ujarnya tanpa mengalihkan tatapannya.

"Ini resting bitch face-ku," ujarku sambil menunjuk wajahku dengan telunjuk kanan.

Alisnya terangkat. "Apa?"

Love Me If You DareWhere stories live. Discover now