Tak jauh di sudut kanan, La Fayette tampak tertegun melihat bagaimana peti Amelia mulai tertutup tanah hingga tak terlihat lagi sama sekali. Lelaki itu jelas sudah tidak muda. Rambut brunette di bagian dahi tampak menipis dan mulai bercampur dengan rambut keabuan. Lelaki itu juga tidak tampan. Tapi terlihat seperti laki-laki yang baik. Dan ia sangat kaya. Ia memiliki sebuah production house untuk perfilman di Perancis. Hega berinisiatif menghampiri La Fayette untuk mengucapkan bela sungkawa. Hega tak bisa bahasa Perancis selain “merci” dan “oui”. Dan La Fayette pun tak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Jadi Hega memutuskan untuk berbicara dengan Bahasa Inggris…

            “Hi…” Hega sudah berhadap –hadapan dengan La Fayette saat seluruh tata cara pemakaman selesai dilakukan.

            “Hi… Hello…” La Fayette membalas sapaan dengan aksen sengau khas perancisnya. Ia menatap Hega dengan kikuk. Ia tak nampak sedih. Ia terkesan sedang kebingungan. Jadi Hega langsung saja menyampaikan bahwa dirinya juga sangat berduka atas kepergian Amelia… dan betapa terkejutnya Hega saat mendengar apa yang keluar dari mulut La Fayette kemudian…

            “Be frankly… don’t you realize that I’m confused about what I’ve been doing here?”

Ia mempertanyakan dirinya sendiri atau entah sungguh–sungguh bertanya pada Hega, sedang apa dan untuk apa ia berada di situ.

            “Pardon me?” Hega berusaha memastikan apa yang didengarnya barusan…

Dengan sikap yang masih kikuk, La Fayette menatapnya dengan bingung…

            “I don’t know what have I been doing.” La Fayette mengulang dengan lebih jelas, mempertanyakan apa yang selama ini dilakukannya. Dengan sinar mata yang sungguh kebingungan. Sembari terus saja mengacak rambut bagian depannya yang tipis.

            “What did you mean? You’re here because Amelia is buried here. Are you okay?”

            “Who is Amelia?” La Fayette mennyebutkan nama Amelia dengan nada bicara dan tatapan seolah tidak pernah menyayangi Amelia sebelumnya. La Fayette berkerenyit dahi dan memicing nanar. Warna mukanya sulit dijelaskan. Tapi yang jelas, ia tampak tak bahagia berada di situ. Persisnya, ia terlihat seperti orang yang baru saja tersadar dari koma yang panjang…

Pertanyaan terakhir si Tuan Perancis itu bagai geledek di telinga Hega. Bagaimana mungkin La Fayette mempertanyakan… Siapa Amelia??? Hega mengerti pertanyaan itu tidak bersifat harafiah... tapi mempertanyakan siapakah Amelia bagi La Fayette? Dan itu terkesan begitu kasar. Seperti melecehkan...

             Tak pernah disangka oleh Hega… kalau Amelia benar–benar menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan bule Perancis itu… bahkan dengan cara okultisme pun di pilih oleh Amelia… Menghalalkan segala cara memang kecenderungannya…

Tapi hasil akhirnya membuktikan dengan jelas bahwa cara yang salah tak akan membuahkan kebaikan sama sekali… Amelia meninggal karena jatuh terpeleset di kamar mandi… yah, jatuh begitu saja, membuat bagian vital di belakang kepalanya mengalami pendarahan hebat dan mati di tempat. Amelia tidak meninggal dalam kecelakaan tragis… tapi ironis… dan si Tuan Perancis kembali ke negerinya, bersatu kembali dengan keluarganya… Amelia tidak pernah menang. Ia hanya seperti pengganggu sesaat lalu di potes dari kehidupan agar La Fayette kembali dengan kehidupan yang sesungguhnya. Sungguh bahan pelajaran yang mengingatkan Hega,,, jangan pernah berpikir untuk begitu takabur, merasa bisa masuk begitu saja dalam kehidupan sepasang manusia dan memisahkan yang namanya cinta pemberian Tuhan. Keindahan tidak menjamin kebersamaan selamanya…

Perasaan ngeri dan berkabung, bercampur aduk di benak Hega. Saat itulah tangan berat yang terasa kuat, mendarat di bahunya. “Yang tabah, ya…” suara berat berwibawa, menyusul di telinga Hega, setengah berbisik. Itu suara milik. Antonius Lazarus.

NURANIWhere stories live. Discover now