Mau Jadi Apa? #part4

1.5K 190 13
                                    

Ternyata benar kata orang, bahwa setiap tempat itu akan selalu meninggalkan cerita dan cinta. Meskipun, kaki kita sudah tidak menapak di tempat tersebut, namun kenangannya akan selalu mengikuti sampai kapan dan dimana pun. Sama halnya seperti yang dialami oleh kakak gue. Mungkin, gue tidak tahu dan tidak mau tahu terlalu jauh, soal kehidupan pribadinya. Tapi setidaknya, dari kejadian hari ini, gue jadi tahu, kalau dia belum bisa sepenuhnya melupakan kenangannya di Australia.

Semua berawal dari saat dia masih di Bali, ketika itu, dia memiliki seorang pacar yang merupakan sesama karyawan di tempat kerjanya yang lama. Sampai akhirnya dia berangkat ke Australia, mereka pun harus menjalin hubungan jarak jauh atau lebih sering dikenal dengan LDR (Long Distance Relationship). Sempat bertahan selama setahun, setelah keberangkatannya ke Australia, namun akhirnya mereka harus merelakan hubungan mereka berakhir di tengah jalan. Padahal, hubungan mereka telah berjalan hampir 4 tahun lamanya. Sungguh disayangkan, namun tak bisa disalahkan juga, mungkin itu sudah keputusan terbaik untuk semuanya.

Bicara soal LDR, gue merupakan salah satu orang yang bisa dikatakan sedikit kontra dengan tipe pacaran seperti ini. Bagi gue, menjalin hubungan jarak jauh itu sama aja kayak, saat lagi lapar dan pingin makan Indomie, tapi kita cuma bisa nonton di Youtube. Semu. Awalnya sih, mungkin kita akan merasa terbiasa, melepas rindu melalui kabar. Namun lama-kelamaan, kabar saja tidak cukup, ketika rasa curiga sudah datang menghampiri sebuah hubungan. Menurut gue, ketika dalam hubungan jarak jauh sudah muncul rasa saling curiga, maka sulit untuk bisa saling percaya lagi. Kenapa? Bagi gue, cinta itu punya mata yang sering kita sebut dengan, mata hati. Terkadang, segala sesuatu itu harus terlihat, bukan hanya saja bisa dirasakan, namun tidak bisa dilihat dan digenggam. Kenapa begitu? Mungkin, seperti ini gambaran singkatnya.

Dikisahkan suatu hari Dona dan Doni, harus berpacaran jarak jauh, karena Doni baru saja diterima kerja di Arab Saudi, sebagai tukang gali sumur. Sedangkan, Dona masih setia di Indonesia, menjadi sales marketing dari keripik Maichi. Awalnya, hubungan mereka baik-baik saja, namun semakin lama hubungan mereka menjadi tidak sama seperti dulu lagi.

"Sayang, kamu beneran cinta gak sih sama aku?" ujar Dona, sambil melihat ke layar hape-nya.

"Iya sayang, aku beneran cinta kok sama kamu," balas Doni, juga dengan menatap ke layar hape-nya.

"Mana buktinya?" tanya Dona dengan wajah cemberut.

"Nih! Buktinya, aku nyempetin waktu video call-an sama kamu, padahal aku lagi boker loh," jawab Doni lagi, sambil mengarahkan kamera depannya ke arah bawah, seketika layar pun menjadi buram dan berembun.

"Bukan. Bukan itu! Aku mau ketemu sama kamu. Sekarang!" Nada Dona, mendadak meninggi dalam sekejap.

"Lho, kok dadakan banget sih? Aku gak bisa, kalau harus sekarang,"

"Kamu beneran, gak mau ketemu sama aku? Kamu udah punya pacar baru, ya?! Hah?!"

"Aku gak punya pacar, selain kamu. Aku masih setia sama kamu."

"Mana buktinya?"

"Kenapa sih kamu selalu nanya, 'mana buktinya' terus?"

"Iya, karena aku memang perlu bukti. Bukti nyata! Aku juga perlu sosok kamu di sini, aku mau liat kamu, mau peluk kamu, bukan cuma dengar suara kamu yang cuma bisa bikin kangen setiap hari."

"....." Doni hanya diam, sambil berusaha menguburkan dirinya sendiri di gurun pasir.

Sebenarnya, gak ada yang salah dalam hubungan Dona dan Doni, mereka masih saling mencintai dan mereka masih saling mempercayai satu sama lain. Namun, mana buktinya? Bukti nyata yang seharusnya dapat dilihat dan digenggam. Kini, semuanya sudah tak kasat mata lagi dalam hubungan mereka. Bahkan, hal-hal di luar logika sekalipun, seketika bisa muncul ketika rasa kangen itu datang. Ya, karena hubungan jarak jauh, bukan hanya saja menjauhkan raga dua sejoli, namun juga menjauhkan logika dua sejoli.

***

Semenjak pulang dari Tangerang dan kembali lagi ke Surabaya, kini gue mempunyai hobi baru. Bukan, bukan hobi makan upil pake saos ABC, tapi hobi baru gue, yakni, menulis. Berawal dari keisengan membaca gue, saat membeli buku karya Raditya Dika yang berjudul Cinta Brontosaurus dan Manusia Setengah Salmon. Keisengan membaca gue tersebut, kemudian berlanjut menjadi sebuah rasa penasaran untuk menulis. Awalnya gue bingung, harus memulai dari mana. Sampai akhirnya, gue memulai semuanya dengan hal terkecil, yakni membeli notebook bekas berukuran 10 inch, Acer Aspire One Happy berwarna biru muda. Kesenangan luar biasa gue rasakan, karena ini kali pertama gue mempunyai notebook sendiri. 

Saking senangnya, notebook ini selalu gue jaga dan gue simpan di kulkas, biar gak lecet dan cepat busuk. Bagi gue, notebook / laptop merupakan hal wajib yang harus gue miliki, apabila ingin menjadi penulis. Sebenarnya,bisa menulis di kertas doang, tanpa memakai laptop,tapi gue minder dengan tulisan tangan gue. Terakhir, ada yang baca tulisan tangan gue, dia langsung pakai kacamata kuda karena matanya rusak.

Setelah banyak membaca dan memiliki notebook sendiri, langkah selanjutnya yang gue lakukan adalah bergabung dengan komunitas di Facebook. Bukan, gue bukan gabung ke komunitas pencinta waria montok,melainkan komunitas menulis. Beberapa komunitas sempat gue coba ikuti, hingga akhirnya gue menemukan sebuah grup yang sangat aktif dan banyak memberikan tips-tips kepenulisan. Nama grup tersebut yakni, Antologi Es Campur. Gue mengira, di komunitas ini, gue akan belajar caranya menyerut es batu hingga halus pake ketek, ternyata gue salah. Di sinilah, awal hobi gue menulis pertama kali tersalurkan. Mengingat, setiap minggunya grup ini selalu mengadakan lomba menulis cerita pendek dan untuk 20 penulis yang beruntung, maka tulisannya bisa diterbitkan menjadi sebuah buku. Kelihatannya seru sih, namun di awal perjalan gue menulis, ternyata semua gak semudah yang dibayangkan. 

Gue baru sadar, modal percaya diri dan semangat saja gak cukup buat jadi penulis. Ternyata, gue melupakan yang namanya, teknik menulis. Tulisan awal gue, benar-benar jelek banget. Sebuah kata yang seharusnya gue buat untuk bertanya, malah berubah menjadi kalimat pengakuan dengan nada membentak, hanya karena salah menggunakan tanda baca, seperti ini misalnya;

· Tulisan yang seharusnya: "Emang aku jelek? Iya? Aku jelek? Kenapa?"

· Tulisan versi pertama kali menulis: "Emang aku jelek! Iya! Aku jelek! Kenapa!"

Di titik itu, gue justru semakin semangat untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Semakin banyak membaca, secara gak langsung membuat gue jadi paham bagaimana teknik menulis yang baik dan benar. Hingga sampai akhirnya, gue semakin sering mengikuti kegiatan menulis di Antologi Es Campur dan tulisan gue berhasil lolos dan dibukukan dengan karya penulis lainnya. Kebahagiaan gue, semakin terasa lengkap, setelah gue bisa melihat nama gue, Dono Salim, terpampang nyata dalam sebuah buku. Keren!

Selain aktif di grup Antologi Es Campur tersebut, gue juga mencoba untuk melebarkan sayap dengan membuat blog pribadi.Berawal sebuah dari keisengan, akhirnya lahirlah sebuah blog yanggue beri nama, bukan-donowarkop.blogspot.com. Kenapa namanya harus, [Bukan]Dono Warkop? Jawabannya sebenarnya simpel, karena gue memang bukan Dono Warkop,tapi gue adalah Dono Salim. Just kidding. Sebenarnya, filosofi dibalik nama blog itu, karena gue berharap kelak ingin menjadi sosok ikon komedian seperti Dono Warkop. Namun, gue tidak ingin dikenal karena memiliki nama yang sama dengan sosoknya, tapi gue ingin dikenal, karena gue bisa menciptakan karya komedi yang orisinil dan tulus dari dalam hati.    


**Lanjutan cerita ini bisa dibaca di halaman berikutnya, ya! :)

Follow gue di Instagram, Twitter, & Wattpad juga -> @dono_salimz

Jangan lupa juga kasih Comment, Voted, & masukin cerita ini ke Reading List ya, Guys! (^_^)  

Mahasiswa 1/2 Abadi (KOMEDI - PELIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang