29. Senja dan Cerita Yang Telah Usai

16K 862 89
                                    

Bagian paling sulit dari mencintai seseorang, tidak lain adalah mengikhlaskan kepergiannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kau harus menerimanya, karena ada kepergian abadi yang memang tidak bisa kembali.

Bohong kalau Jingga bilang ia baik-baik saja. Nyatanya, sesederhana apapun bentuk kehilangan itu, tetap saja menyakitkan. Tapi, kenangan punya cara sendiri untuk mengobati rasa kehilangan.

Tak terasa satu bulan sudah berlalu, namun bagi Jingga rasanya seperti bertahun-tahun. Hari-harinya hanya sebatas makan, mandi, tidur, main game, dan mengunjungi pusara Senja. Itupun kebanyakan ia habiskan menyendiri di dalam kamar dengan pintu terkunci. Menyakitkan ketika Jingga berharap bertemu Senja sekali saja dalam mimpinya, namun ketika bangun dari tidurnya, kenyataan seolah menampar Jingga berkali-kali. Bahwa Senja sudah tidak ada, bahwa ia memang tidak bisa menemui Senja.

Tak hanya keluarga Jingga dan teman-temannya, bahkan guru-guru pun sempat membujuknya untuk tetap semangat menjalani hidup, namun tak ada satupun ucapan yang digubrisnya. Sampai semua teman-teman Jingga, baik yang terdekat sampai yang kenal sekelebat saja, mereka mengirimkan pesan di sosial media milik Jingga dengan kata-kata penyemangat. Tetap saja bagi Jingga semua itu hanya buang-buang waktu, membaca satu persatu pesan mereka yang tidak memberi efek apapun pada hatinya.

Dan sekarang, Jingga sedang berada tepat di mana Senja dimakamkan. Dengan sepucuk mawar merah yang ia taruh di dekat batu nisan Senja, dan merapalkan segala macam doa dalam hati dengan mata tertutup. Setidaknya hanya itu yang bisa Jingga lakukan untuk mengobati kerinduannya.

"Amin." Ucapnya pelan ketika selesai memanjatkan doa-doanya.

Tangannya meraih batu nisan yang bertuliskan nama seorang gadis yang amat dikasihinya. "Saya cuma minta satu hal, Sen. Saya mau ketemu kamu. Banyak yang ingin saya bicarakan, bukan sekedar tentang kata klasik saya rindu kamu. Percaya, saya lebih dari rindu.

"Saya belum sempat lakukan apapun buat kamu. Saya belum sempat mengajak kamu jalan-jalan ke Dufan. Saya belum sempat menunjukkan piala yang sudah saya raih. Dan... saya belum sempat bilang, bahwa saya selalu mencintaimu, sekalipun kamu muncul sebagai hantu."

"Saya sayang luar biasa sama kamu, Sen."

Jingga mengatur napasnya yang sempat tersenggal akibat debaran kencang yang ia rasakan, dadanya sesak sekali karena terlalu banyak menahan sakit. "Kenapa harus kamu?" Jingga tau, pertanyaan itu bersifat retorik, tetapi hanya itu yang terlintas di kepalanya belakangan ini.

"Karena Tuhan lebih sayang Senja dari pada kita semua."

Ah, tidak. Itu bukan suara Jingga. Suara itu...

"Gaea?"

Gaea duduk di samping Jingga, tidak peduli bajunya yang akan terkena noda. Ia mengambil sesuatu dari tasnya; sebuah buku. Dan diberinya buku itu pada Jingga. "Ini punya Senja. Gue rasa, lo orang yang tepat buat nyimpan buku ini."

Jingga menerima buku tersebut yang ia yakini adalah buku harian Senja. Diperhatikannya buku itu lekat-lekat, lalu ia peluk erat, sesekali diciumnya. Hingga ia merasa wangi Senja menempel dipermukaannya.

"Seumur hidup gue, gue iri sama hidup adik gue sendiri. Kenapa? Dia dilimpahi kasih sayang orang lain disekitarnya, banyak orang yang bisa langsung sayang Senja setelah liat dia, termasuk lo, termasuk juga Papa. Gue ngerasa kasih sayang Papa itu beda, Gue ngerasa Papa itu lebih perhatian sama Senja dibanding gue. Apa karena Senja sakit, jadi semua melimpahkan kasih sayang disisa-sisa hidupnya." Gaea berbicara tanpa menatap wajah Jingga, hanya mengelus batu nisan almarhumah Senja.

"Sakit?" Jingga memastikan apa yang dikatakan Gaea. Tapi selama ini Senja kelihatan baik-baik saja.

"Senja sakit parah, Ga. Dia punya kanker otak stadium lanjut."

Senja Dan JinggaWhere stories live. Discover now