26. Takdir

9.9K 713 20
                                    

"Pokoknya Mama ikut jenguk Si Cantik!"

Itulah alasan kenapa sekarang Jingga berada di supermarket dengan belanjaan menumpuk yang rata-rata berisi buah segar. Seharusnya, sekarang Jingga sudah ada di samping Senja, tetapi akibat Mamanya yang super rempong, Jingga harus mampir dulu ke supermarket terdekat.

"Ma, udah ya, Ma... kapan kita ketemu Senja kalo gini?" Rengek Jingga sambil mendorong troli yang dipenuhi hasil pencarian Tania.

"Iya... iya... udah kok ini satu lagi..."

Jingga menghela napas lelah. "Dari tadi satu... satu... satu... sampe sepuluh itu nggak selesai-selesai."

"Pusing deh, ah, kalo ngajak kamu. Mending sama Shani." Gumam Tania yang sebenarnya tidak di dengar oleh Jingga karena Jingga telah berlalu meninggalkan Tania yang sedang memilih buah-buahan.

***

Jingga memasuki lorong rumah sakit dengan Tania yang membawa buah-buahan beserta roti dan susu untuk Senja, Jingga dengan senyum yang mengembang dan semangat menggebu itu melangkah sepenuh hati untuk menemui gadisnya. Jingga tidak peduli, meski tubuh Senja dipenuhi selang-selang rumit yang tidak ia mengerti. Jingga tidak peduli, Senja hanya bisa tertidur di ranjang dengan wajah pucat. Bagaimanapun Senja tetaplah Senja, gadis yang ia cintai sebegitu dalamnya.

Kemarin, Jingga membawa teman-temannya untuk menjenguk Senja dan menghiburnya. Karena terlalu gaduh, seorang perawat menegur mereka yang di anggap telah menganggu ketenangan pasien. Bodohnya, Didi yang otaknya tinggal seperempat itu malah menggoda sang perawat. Jingga merutuki dirinya sendiri yang menahan malu mempunyai teman macam Didi.

Jingga melihat seorang pria yang duduk di kursi penunggu tepat di depan ruangan Senja, yang di yakini adalah Papa Senja. Jingga menghampiri beliau setengah berlari, terlihat raut Nata yang sangat sulit ditebak.

"Om, semua baik-baik aja?" Sapa Jingga, Nata mengangguk lemah sambil tersenyum getir. Tetapi pandangannya teralihkan oleh wanita di belakang Jingga, dalam hati Nata bertanya, apa dia hanya ilusi yang timbul saat Nata berada di situasi sesulit ini atau memang nyata?

Jingga melihat kemana Nata menatap, saat ia menyadari ternyata Nata sedang menatap Mamanya sendiri. Namun mengapa wajah Mamanya pun terlihat tegang dengan kantung belanjaan yang sudah terlepas dari tangannya itu.

"Oh iya, Om. Kenalin, ini Mama Jingga." Ucap Jingga dengan begitu hangat, memperkenalkan dua orang yang sebenarnya sudah mengenal sejak lama, namun tidak dipertemukan dalam kurun waktu yang lama pula.

"Nata... " Tania menutup mulutnya dengan satu tangan kanannya, tidak percaya yang di depannya benar-benar Nata. Bukan tidak percaya dia akan bertemu lagi dengan Nata, tetapi tidak percaya dengan kenyataan baru yang menyatakan bahwa Nata adalah Papanya Senja. Itu berarti dugaan Tania selama ini benar, Manik biru muda yang ia lihat milik Senja, berwarna senada dengan warna manik Nata.

"Tania, Mama Jingga?" Begitu Nata tidak menyangka bahwa dunia akan sesempit ini. "Berarti Mario... " Nata menghentikan perkataannya, lalu bangkit menghampiri Tania. Jingga yang masih di tempatnya hanya bingung memperhatikan kedua orang itu.

"Apa kabar?" Tanya Nata dengan senyum mengembang, sedangkan Tania setengah hati menahan tangis yang ingin menyeruak begitu saja. Situasi ini lebih terasa canggung, dimana keduanya sama-sama tidak tau harus bicara apa.

"Baik. Kamu apa kabar? Kinan juga apa kabar?" Dengan genangan bening di sekitar bola matanya, Tania terharu bahwa selama ini putra sulungnya dekat dengan anak Nata. Tania tidak tau, bagaimana terkejutnya Jingga setelah ia tau masa lalu Tania dengan Nata?

Tatapan Nata berubah jadi sendu, Tania merasakannya. "Kinan meninggal. Sejak melahirkan Senja." Lirih Nata. Hati Tania terguncang mendengarnya, jadi selama ini Nata mengurus anaknya seorang diri?

"A-aku nggak tau kabar ini sama sekali, aku turut berduka cita, Nat..." Tania hanya bisa mengusap bahu Nata, mengingat sekarang statusnya adalah istri Mario dan ibu dari dua orang anak, membuatnya tidak enak jika harus merengkuh Nata.

Nata tersenyum, meski itu terlihat pilu, namun Nata tetap berusaha. "Mario apa kabar?" Nata mengalihkan topik pembicaraan, bukan tidak ingin membahas Kinan, hanya saja setiap menyebut nama Kinan, seolah hatinya ingin menemukan dimana Kinan berada, walau logika tau mereka sedang berada di dimensi yang berbeda.

"Baik. Besok aku ajak Mario ke sini." Setelah itu mereka saling diam. Situasi terasa amat sangat canggung.

"Mama kenal Om Nata?" Tanya Jingga dengan wajah polosnya. Membuat Tania bingung harus mengatakan apa.

"Mama-mu teman sekelas Om." Jawab Nata dengan menyunggingkan senyum tulusnya. Tania tidak pernah merahasiakan apapun dari Jingga dan Shania, hanya saja belum menceritakan tentang dirinya dengan Nata.

Jingga sedikit terkejut mendengarnya, meski ia merasakan Mamanya sedang menyimpan sesuatu.

***

"Udah baikan?" Sapa Jingga pada Senja yang sedang berkutik dengan buku agendanya. Jingga senang melihat Senja membaik, sekarang Senja sudah bisa duduk sendiri, meski hanya bisa melakukan aktivitas terbatas.

Bibir tipis di wajah Senja melengkung layaknya bulan sabit. "Baik."

Terdengar bunyi gagang pintu yang di putar, Tania baru saja memasuki ruangan Senja. "Hey cantik..." seru Tania menghampiri Senja. Tania meletakkan bawaannya di nakas berwarna putih samping ranjang Senja.

Tania membelai rambut Senja yang terurai. "Gimana keadaan kamu sekarang? Membaik?"

"Alhamdulillah, Tante." Senja tersenyum tipis, dalam hati meragu.

Kehadiran Tania membuat Senja sangat senang, memotivasi Senja untuk bertahan dari rasa sakit, dan memikirkan orang-orang yang telah menyayanginya selama ini.

Bukannya Senja enggan bertahan, hanya saja semua terlalu rumit. Tidak ada yang mengerti posisi Senja saat ini dan kemarin-kemarin, saat ia harus memilih antara egonya dan keluarganya, saat ia bertarung melawan kata hatinya sendiri. Hidup dalam situasi sulit seperti ini, bukan kemauannya. Namun jika Tuhan berkehendak, manusia bisa apa? Hanya tinggal menjalani apa-apa yang telah ditakdirkan.

Setelah kecelakan Gaea dan meminta persetujuan Papanya untuk mendonorkan hatinya sendiri, Senja sudah bertekad mengorbankan hidupnya, mengorbankan segala yang dia punya. Jika ada yang bertanya, semua ini untuk apa, ada satu hal yang Senja inginkan seumur hidupnya. Senja ingin Gaea mengetahui bahwa ia benar-benar menyayangi Gaea, lebih besar dari rasa benci Gaea pada Senja selama ini.

Senja hanya ingin Gaea tidak membencinya. Itu saja.

Masalah Jingga, Senja telah menyerahkannya pada yang Maha Kuasa. Entah takdir apa yang terjadi selanjutnya, biar Tuhan yang menulis skenario indahnya. Biarkan Jingga bahagia, meskipun tanpa Senja di dalamnya.

"Kamu tau, nggak? Tadi si Didi dapet nilai tiga puluh, dia seneng banget. Biasanya, kan dapet dua puluh lima." Jingga selalu bercerita tentang kesehariannya pada Senja, setidaknya saat mereka hanya berdua. Sebelumnya, Tania sudah pergi meninggalkan ruang Senja untuk bertemu Nata.

Senja tertawa samar, sungkup sederhana yang menempel di sekitar hidung dan mulutnya, membuat Senja sulit untuk tertawa, atau sekedar berbicara. "Kamu dapet nilai berapa?" Tanya Senja.

"Seratus... dibagi dua." Ucap Jingga sumringah, menampilkan cengiran bodohnya. "Seengganya aku lebih pinter dari Didi." Jingga membanggakan dirinya sendiri, membuat Senja ingin tertawa lepas seperti biasa.

***

"Sakit, ketika aku ingin tetap berada di sampingmu, menikmati hujan sambil tertawa denganmu, namun takdir membangunkanku."

- Senja .R

***

K sip. Gaada kuota buat apdet wkwk sengaja apdet malem, ini juga numpang hotspot.

Ini juga buru-buru nulisnya, kalo ada typo comment aja, soon aku perbaiki! Lavya💕

Senja Dan JinggaWhere stories live. Discover now