10. Minggu Sendu

13K 760 13
                                    

Senja membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di makam Ibunya. Setelah selesai, Senja menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar merah dan mawar putih di atas gundukan tanah yang di lapisi kramik berwarna biru muda itu. Lalu, Senja merapalkan berbagai doa untuk mendoakan almarhumah Ibundanya yang telah tiada. Senja menatap nanar tulisan di nisan tersebut, Kinanti Adi Sofyan Binti Rahmat Sofyan dengan tanggal kematian yang sama dengan ulang tahun Senja.

"Ma, apa kabar?" Senja tidak dapat menahan air matanya.

"Senja harap, Mama sudah bahagia di sisi Tuhan dan Tuhan memberikan Mama tempat yang paling indah."

"Ma, Ka Dita rindu sekali sama Mama. Kalo aja Ka Dita izinin aku untuk memeluknya, aku sudah memeluknya."

"Oh iya, Ma. Omong-omong aku sekarang sudah duduk di bangku SMA, sudah 15 tahun. Padahal kata Papa, baru aja kemarin Papa usap-usap Senja yang masih ada di dalam perut Mama."

"Senja sering kali liat Papa rindu Mama, dia cuma bisa natap foto Mama. Papa sih casing-nya aja yang sok tegar, tapi siapa yang tau kalo Papa serapuh mesin tua."

"Ma, aku lagi jatuh cinta. Dengan seseorang yang mampu mengubah tangis menjadi senyum manis. Ah, kalo aku ceritain semuanya bisa jadi novel. Terlalu panjang."

"Ma, sudah dulu, ya? Nanti Senja balik lagi untuk jenguk Mama."

Senja tersenyum getir seraya menghapus air mata yang sudah turun deras sedaritadi.

***

Senja mengecek semua perkakas melukisnya, apakah sudah lengkap atau masih ada yang tertinggal di kamarnya. Dan ternyata sudah lengkap semua. Saat ini ia sedang berada di taman belakang rumahnya, melakukan hobinya setiap ada waktu luang. Senja duduk di bangku yang berhadapan langsung dengan kain kanvas berukuran cukup besar, lalu jari-jari Senja mengambil kuas dan menari-nari di atas permukaan kain kanvas tersebut.

Senja hanya memikirkan satu orang saat ini, satu orang yang mampu merubah dunianya. Dan satu orang itu sekarang telah menjadi salah satu semangat hidup Senja, dan menjadi kekuatan untuk Senja melawan penyakitnya.

Senja sibuk mencampur satu warna dengan warna lainnya dan menghasilkan warna yang indah. Lukisannya sudah setengah jadi, dan ia melanjutkannya lagi.

"Non Senja... " seru Bi Sisi dari dalam rumah.

Senja masih mampu mendengarnya jelas. "Aku di taman, Bi." Teriak Senja supaya Bi Sisi bisa mendengarnya.

Tak lama kemudian, Bi Sisi sudah berada di belakang Senja memperhatikan Senja yang sedang melukis. Mata Bi Sisi berbinar, lukisannya bagus sekali dan tidak di ragukan lagi. Lukisan seorang lelaki yang sedang duduk di kursi seraya memeluk gitar, tetapi masih belum selesai.

Bi Sisi mengusap rambut Senja yang menjuntai hingga sepinggang. "Makan dulu, yuk, non. Nanti di lanjut atuh ngelukisnya."

"Bentar Bi, dikit lagi juga selesai." Ucap Senja yang masih terfokus pada lukisan tersebut.

"Yoweslah, jangan lupa makan yo, non. Bibi masak enak-enak hari ini, loh."

"Sip, Bi!" Seru Senja seraya mengacungkan jempol pada Bi Sisi yang dibalas senyuman oleh Bi Sisi. Kemudian, Bi Sisi melesat pergi ke dalam rumah.

Senja merasa hidungnya mengeluarkan cairan, padahal ia tidak sedang flu. Ia mengusap cairan tersebut dengan tangan kirinya yang masih bersih. Senja terkejut seketika darah segar memenuhi telapak tangannya.

Ia kebingungan sesaat, mencari cara agar Bi Sisi tidak curiga. Lalu matanya menangkap keran air yang tidak jauh darinya. Ia menghampiri keran air tersebut untuk membasuh tangannya dan sisa darah yang keluar dari hidungnya.

Senja Dan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang