28. Senja Yang Memudar

13.5K 815 90
                                    

"Tau nggak, kenapa hati selalu dielu-elukan sebagai tempat penyimpan satu nama orang yang kita suka?" Tanya Jingga dengan sedikit poker face yang ia tampilkan. Jingga suka melihat Senja berpikir, katanya, kayak ada gemas-gemas tahu bulatnya gitu. Padahal kalau dipikir, tahu bulat itu tidak menggemaskan. Memang dasar Jingga, suka merancau tidak jelas, se-kenanya mulut melontarkan kata saja.

Sedangkan Senja, dia merasa kepalanya berdenyut kecil akibat terlalu berpikir keras. "Karena hati itu... ah, aku nggak tau. Pusing... sakit..." keluh Senja dengan wajah meringis.

Jingga khawatir setengah mati. "Yaudah, kamu nggak usah mikir, langsung saya kasih tau." Jingga mencoba menenangkan Senja, ia mengelus puncak kepala Senja sayang, membuat Senja nyaman berada di sana. "Karena ginjal ada dua, bisa aja kita taruh dua nama di masing-masing ginjalnya." Jingga tertawa renyah, renyahnya itu persis seperti rempeyek yang suka dicemilin Didi.

"Tapi hati, hati cuma satu, itu berarti cuma bisa untuk satu nama, nggak kayak ginjal. Karena hati adalah tempat ternyaman untuk menyimpan sebuah nama." Jelas Jingga dengan mata berbinar. "Kalau kita mendonorkan hati untuk orang lain, kita nggak punya satu hati lagi untuk bertahan..."

Entah hanya perasaan Jingga atau apa, ekspresi Senja berubah cemas saat itu, yang Jingga yakini mungkin itu cuma ekspresi biasa saja, tidak ada makna terselubung.

Tetapi siapa yang tau, itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum... semuanya berakhir. Senja pergi, entah kepergian itu mutlak tidak untuk kembali, Senja-nya pergi, berganti jadi malam yang kelam. Mungkin ini adalah makna yang disampaikan lewat ekspresi cemas Senja.

Sekarang hanya tersisa gundukan tanah yang dipenuhi bunga, yang di dalamnya terkubur jasad seorang gadis yang amat dicintai Jingga. Jingga menatap hampa ukiran di batu nisan, nama itu adalah nama yang sama dengan yang ada di hatinya. Jingga tidak bisa menangis barang setetespun. Bukan berarti Jingga tidak sedih, ini sangat sesak, seolah dadanya terhimpit dua benda besar yang tidak bisa digeser. Bukan Jingga sok kuat atau gengsi, hanya saja seperti ada yang menahan air matanya.

Semua memanjatkan doa untuk Senja, terdiri dari keluarga besar Senja--kecuali Gaea, karena Gaea masih dalam masa komanya-- teman-teman Senja, guru-guru, dan beberapa kerabat yang mengenal Senja, tidak lupa ketiga teman Jingga, diiringi semilir angin sejuk beserta rinai hujan yang jatuh meluruh ke bumi. Semua yang ada disini mengenakan pakaian hitam beserta payung hitam, seolah Jingga merasa bahwa ini memang sudah malam, karena Senja-nya sudah pergi, memudar, hilang ditelan gelap.

Jingga ingin menangis, meraung, menghempaskan apa saja yang bisa dijadikan pelampiasan. Tetapi nyatanya kacau, Jingga tidak bisa melalukan apapun selain bergeming. Bukankah itu lebih menyesakkan? Ketika kita ingin menangis untuk meringankan beban, tetapi tangisan itu tidak keluar sama sekali, membuat semua beban terasa semakin berat dan berat lagi.

Bagi Jingga, Senja bukan hanya seseorang gadis atau sebuah nama, tapi melebihi itu semua. Senja adalah hidup Jingga, Senja adalah jiwa Jingga, Senja adalah tawa Jingga, Senja adalah tangis Jingga, Senja adalah segalanya. Dan ketika semesta merenggut Senja, akan menjadi apa Jingga selanjutnya?--kiasan tersebut mungkin terdengar berlebihan, tetapi tidak untuk Jingga, semua ini menyedihkan. Andaikan orang yang berkata berlebihan itu bisa merasakan kepedihan Jingga, mereka pasti tau rasanya seperti mayat hidup.

Dulu, saat dirinya terpuruk akan kepergian seseorang, Senja datang tiba-tiba dan duduk di sampingnya. Sekarang, mungkin hal itu tidak akan terjadi untuk kedua kali. Karena saat ini Jingga seperti mati rasa, seperti tidak ada gairah untuk mencintai siapa-siapa.

"Bang, pulang yuk..." Shania menyentuh bahu Jingga dengan suara bindang akibat hidung tersumbat dan mata sembab yang semakin membesar. "Tinggal kita berdua aja sekarang." Lirih Shania sambil tetap memegangi payung untuk mereka berdua. Astaga, bahkan Jingga tidak menyadari keadaan sekelilingnya yang sudah senyap, tidak ada orang selain Shania dan dirinya.

Senja Dan JinggaWhere stories live. Discover now