19. Itu Hanya Kamu

10.4K 672 6
                                    

Sere dan Sofi saling bertatapan ketika melihat Senja yang hanya sedang mengaduk-aduk minumannya tanpa meminumnya. Sofi bertanya pada Sere lewat tatapan mata, Sere menjawab dengan menaikkan bahunya. Sebagai teman yang baik, Sere dan Sofi tidak tega melihat Senja yang seperti ini. Bahkan bukan hanya saat ini saja, beberapa hari belakangan ini, Senja kepergok melamun di kelas, dan teman-temannya merasa ada yang tidak beres dengan Senja.

Sofi mengelus bahu Senja, menatap Senja dengan tatapan terluka. "Kalo ada apa-apa, jangan di pendam sendiri, Sen. Gak baik. Ingat ini, gue sama Sere selalu ada, kapanpun lo butuh tempat curhat atau sekedar melampiaskan kekesalan lo." Senja berhenti mengaduk minumannya, dan menatap teman-temannya, Sofi dan Sere yang ternyata sudah memperhatikannya sedari tadi. Sekarang, mereka ada di sebuah cafe yang terletak di tengah kota Jakarta. Cafe ini adalah cafe langganan Sere, alasan klasik Sere menjadikannya tempat langganan, karena ada waiters tampan menggoda iman yang tidak mampu Sere tepis pesonanya. Mereka hanya bertiga, tanpa Shania. Shania merengek ingin ikut saat di telepon, namun ia sedang merayakan hari jadinya yang ke sekian dengan Fero malam ini. Sebagai sahabat yang baik, mereka mempersilahkan Shania untuk wasting time dengan Fero.

Sere mengangguk setuju. "Ini gunanya teman. Buat apa lo punya teman, sedangkan lo masih ngerasa sendiri? Lo anggap kita ini apa, Senja?" Sere menghentikan perkataannya sebentar hanya untuk menghela napas. "Gue ngerasa kaya temen nggak berguna, your beautiful eyes shows everything that you aren't okay right now. Are you?" Lanjut Sere.

Senja tersenyum getir, lalu di kejap berikutnya ia kembali bermuram durja. "Kalau di suruh pilih, kalian lebih pilih keluarga atau pacar?" Yep, akhirnya Senja mengeluarkan kata-kata.

Tanpa berpikir lagi, Sofi menjawab. "Tergantung. Ya jujur, logika gue pasti lebih pilih keluarga lah. Jelas, keluarga ada sebelum doi kali. Bahkan keluargapun udah tau manis pait indah busuknya gue." Sofi menyesap caramel frappuchino-nya sesaat. "Tapi, di sini gue liat konteks lo beda, Sen." Lanjutnya.

"Kalo keluarganya pantas lo perjuangin sih ya, jalan yang lo pilih benar. Tapi, kalo ternyata keluarga lo --maaf nih misalnya gadir, with pleasure to say im so sorry. Karena berjuang itu nggak main-main loh, harus ada hati yang di korbankan. Dan hati lo terlalu berharga untuk di korbankan buat orang-orang gadir, Sen." Sahut Sere berapi-api. Pikir Senja, baru saja ia melontarkan satu kalimat pertanyaan, teman-temannya lantas saja menyambar dengan deretan kata yang sejujurnya ada yang Senja tidak paham.

Senja berdeham. "Gadir itu apa?"

Sere menganga mendengar perkataan Senja. Sepertinya berbicara dengan Senja harus menggunakan bahasa formal, pikirnya. "Gadir itu, gak tau diri." Dan Senja hanya ber-oh-ria.

"Gini ya, Sen. Menurut gue, ikutin aja kata hati lo. Yang menurut lo baik, jalanin aja. Tapi satu saran gue, jangan bunuh hati lo hanya untuk kebahagiaan orang lain. Lo lebih pantas untuk bahagia di banding mereka." Jelas Sofi yang makin membuat Sere termangu di tempat. Entah apa Sofi habis terbentur sesuatu saat di rumah atau gimana?

Sedangkan Senja berpikir sesuatu, membagi kesedihannya atau memendamnya sendiri? Namun, mungkin tidak ada salahnya jika mencoba membagi kesedihan agar Senja tidak selalu merasa sendiri.

Senja memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam dan di keluarkannya perlahan lewat mulut. "Aku punya kakak, kak Dita namanya. Sekarang dia sekolah di Tunas Garuda kelas 12... "

"What? Serius? Berarti kakak kelas kita dong? Kok lo nggak pernah cerita? Kenapa lo nggak pernah keliatan jalan bareng atau apa gitu?" Tanya Sere bertubi-tubi.

"Biarin Senja cerita dulu, bodoh. Baru lo komentar." Sungut Sofi pada Sere, Sere mengangguk dan sekarang mereka hanya terfokus pada satu titik; Senja.

Senja Dan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang