23. Kembali

10.3K 720 9
                                    

Jingga sudah memasang tampang lesu sejak Mama-nya menyuruh ia pergi dengan Jane.

Jingga menghela napas saat Jane selalu mengeluh dibelakangnya untuk tidak jalan cepat-cepat. Ini yang Jingga benci, berbelanja dengan wanita memang merepotkan, dan yang lebih mereporkan adalah mengetahui wanita yang bersamanya adalah Jane, membuat kepala Jingga berdenyut kecil. Jingga tidak peduli dengan ocehan Jane yang mungkin sudah membuat telinganya pengang, bahkan Jingga rasa orang-orang yang melewati mereka pun merasa risih dengan keluhan sial Jane.

"Ga..." Rintih Jane sambil menarik tangan Jingga. Jingga melirik Jane sesaat. "Jalannya pelan-pelan. Gue capek." Lanjut Jane, lalu melepaskan tangan Jingga.

Jingga hanya berdeham, lalu melanjutkan pencariannya. Keranjang belanjaannya lebih penting daripada keluhan Jane yang tidak jelas menurutnya. Rupanya perkataan Jane di anggapnya angin lalu yang tidak didengarnya. Miris.

Jane mulai kesal, ia memberenggut dan memikirkan sebuah cara agar tidak dalam situasi tidak nyaman seperti ini. Kira-kira apa yang bisa membuat Jingga tidak marah dengannya? Padahal kan Jane hanya ingin berteman dengannya, tidak berharap lebih.

Terlalu banyak memikir membuatnya tertinggal sangat jauh dengan Jingga, Jane akhirnya berlari mengejar Jingga.

"Ga, Senja... " teriak Jane pada Jingga, dan hebatnya Jingga langsung berhenti dan menoleh padanya.

Jane tersenyum dalam hati, triknya berhasil.

Jane menghampiri Jingga, dan Jingga bersikap seperti meminta penjelasan mengapa Jane tiba-tiba menyebut nama Senja.

"Penasaran ya? Makanya jangan jalan cepet-cepet." Sungut Jane.

Jingga memutar bola matanya. "Gak jelas." Sedetik kemudian, ia mulai melanjutkan kegiatannya.

"Senja masih ada rasa sama lo. Lo nggak tau, ya? Miris." Gumam Jane.

Secercah harapan yang menggantung rupanya masih ada, Jingga senang mendengarnya. Kali ini Jingga yang menghampiri Jane. "Siapa yang bilang?" Tanya-nya ragu-ragu pada Jane.

Jane menahan tawanya dalam hati. Ia kenal Jingga lebih baik dari ia mengenali dirinya sendiri. "Ah gue nggak mau buka kartu, biar Senja nya aja yang bilang sendiri." Jane tersenyum puas, membuat Jingga penasaran sangat menarik, bisa dipastikan Jingga sedang menerka-nerka apa yang baru saja Jane katakan. "Gini ya, Ga. Mulai sekarang lo nggak usah repot-repot menghindar dari gue, gue yang akan pergi secepatnya tanpa lo minta. Dan di sini, gue nggak mau jadi penghalang antara lo sama Senja, gue cuma mau berteman sama kalian, udah gitu aja." Jane menampilkan smirk jailnya seraya meninju kecil bahu Jingga.

"Seenggaknya beri kesan terbaik sebelum gue pergi." Lanjut Jane. Jane merebut keranjang belanjaan di tangan Jingga, lalu berjalan lebih dulu, meninggalkan Jingga yang sedang terpaku dengan ucapannya.

Jingga sangat bersyukur, masalahnya tentang Jane sudah berakhir. Tidak ada yang harus dipermasalahkan, lagi pula Jane terlihat meyakinkan. Jingga hanya ingin bahagia, bersama Senja. Itu sudah cukup.

Jingga menepuk Jidatnya, ia tidak sadar sudah ditinggal jauh oleh Jane. Mengapa keadaannya terbalik seperti ini?

***

Senja bingung ia harus memakai baju apa, ia tidak tau apa Jingga mengajaknya ke acara formal atau sebaliknya. Senja hanya takut salah kostum, itu saja. Pakaian yang tersusun rapi di lemari pakaian dikeluarkan semua oleh Senja, mencari yang benar-benar pas menurutnya, tidak terlalu formal dan tidak terlalu santai.

Wanita memang sama saja, pakaian segitu banyaknya tetap saja tidak ada yang pas menurutnya. Ada yang pas, hanya saja sudah pernah dipakai ke acara yang lain, dan berbagai macam alasan lainnya.

Senja Dan JinggaWhere stories live. Discover now