21. Dandelion

10.5K 714 14
                                    

"Gue dapet nilai seratus dalam empat mata pelajaran. Gila. Keren gak tuh?" Seru Didi dengan hebohnya. Memang begitulah gayanya, selalu blak-blakan dimanapun ia berada. Tidak peduli seberapa ramainya tempat tersebut.

Juna, Jingga, Karel dan Jane menatap Didi tidak percaya. Seolah-olah memang Didi adalah seseorang yang tidak pernah berkata jujur. "Yaelah jangan pada soudzon gitu sama orang ganteng." Sunggut Didi, lalu merampas minuman yang bertuliskan nama dirinya di meja tersebut.

"Bukannya nilai lo ancur?" Tanya Karel tidak percaya, sebab Karel pribadi yang duduk dengan Didi tidak mempercayainya. Setahu dirinya, Didi memang tidak pernah mendapatkan nilai sempurna. Jika memang benar, maka ini akan menjadi sejarah karena sejak 12 tahun Didi bersekolah, baru kali ini mendapat nilai sempurna.

Didi lantas mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya, ia memejeng kertas-kertas tersebut di hadapan teman-temannya.

Juna mengernyit bingung. "Seratus darimana, coeg? Nilai ulhar lo 25 semua." Sahut Juna.

"25 di kali empat ya jadi seratus." Balas Didi tidak mau kalah. Semua menertawainya, termasuk orang-orang yang ada di sekitar mereka. "Tolol sih, sekolah di pohon bambu." Lanjut Didi.

Jingga tertawa hingga merasakan kram di bagian perutnya. "Anjirlah. Emang lu doang, Di, temen gua... " Jingga mengambil napas hingga terengah-engah. "...yang otaknya sengklek." Lanjutnya yang seketika membuat gelak tawa teman-teman Jingga menggelegar.

"Gue kira lo bakal berubah, Di. Ternyata makin jadi." Ujar Jane.

"Nggak lah Jane. Aku masih padamu, kalo berubah, berarti udah nggak sayang. Eeaaa." Didi terkikik melirik Jingga yang sedang menyeruput minumannya sempat tersedak. Sedangkan Jane tau kemana arah ucapan tersebut, ia langsung menatap Jingga.

Juna berdeham. "Musim aja bisa berubah, apalagi perasaan. Eeaaa." Sambung Juna yang malah memanaskan suasana.

Jane sudah merutuk dalam hati. Ingin sekali ia menampar Jingga, menendang Jingga, mencaci maki Jingga. Meskipun tadi bukan Jingga yang berbicara, tetap saja Jane ingin sekali menjadikan Jingga sebagai samsak. Mengapa perasaan Jingga berubah secepat itu? Bahkan dalam hitungan bulan. Jingga yang sekarang, tidak dikenalinya. Jingga yang menjaganya dari apapun bahaya, sudah tiada, dia sudah lama pergi.

"Ga. Ada Senja." Ucapan Karel mampu membuat Jingga menyisir seantero ruangan lewat pandangannya. Jingga tidak menemukannya.

Karel menarik tubuh Jingga mendekat, lalu di arahkannya pandangan Jingga hingga Jingga mampu melihat Senja. Lantas saja Jingga tersenyum, melihat gadis cantik yang rambut panjang berwarna cokelat terang alaminya digerai dan mata biru yang jika menatap mampu membuat seluruh tubuh Jingga lemas. Ah, Senja...

"Senja siapa?" Tanya Jane pada Karel, namun ia langsung melihat perubahan ekspresi Jingga. Jane langsung mengerti tanpa mendapatkan jawaban. Jane mengikuti arah pandang Jingga, ah ternyata pandangannya tertuju pada seorang gadis yang sedang tertawa kecil. "Dia orangnya, Ga?" Tanya Jane lagi.

Jingga menatap Jane seraya tersenyum. "Iya. Dia orangnya." Sedetik kemudian Jane merasa matanya mulai memanas. Jane menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang akan keluar dengan sekuat tenaga. Kenapa harus sesakit ini?

Seperti memahami situasi, Karel, Juna dan Didi bungkam. Tidak berani berbicara. Itu urusan hati mereka, biar mereka yang menyelesaikannya. Teman hanya mampu membantu sebatas doa, hehehe.

"Lo tau kenapa gue suka dia? Hanya karena dia sesejuk embun pagi, sedamai petrichor malam hari, sesempurna intelegensi matahari, sehangat fajar dan senja mengisi relung hati." Jingga menatap Jane penuh kemenangan. "Sesederhana itu." Desisnya.

Senja Dan JinggaWhere stories live. Discover now