Part 1 Extraordinary Day

34.4K 2K 23
                                    


Kelebihan saya adalah bertanggung jawab, suka menganalisis, terus apalagi, ya? Kalau kelemahan saya adalah tidak suka bergaul. Seandainya aku jawab kayak gini pasti langsung ditolak.

Aku berjalan sambil mencari apa kelemahan dan kelebihanku. Dua hal yang sering muncul dalam tes atau wawancara kerja. Baru beberapa langkah dari kost, tiba-tiba aku melihat dua sosok yang kukenal sedang berjalan ke arahku.  Aku langsung bersembunyi di balik Honda CRV lawas warna merah yang parkir di pinggir jalan yang kulewati. Aku lega karena mereka tidak melihatku.

"Aduh. Gimana, nih? Enggak bisa lewat," bisikku sambil mengintip Isma dan Ria, dua teman sekantorku. Aku penasaran kenapa mereka berkeliaran di jalan pada jam segini. Masih terlalu pagi untuk mencari makan siang.

Hari ini aku tidak masuk kantor dengan alasan sakit karena ada wawancara kerja pukul sepuluh. Tidak mungkin kan, jujur minta ijin buat wawancara kerja. Kostku dekat dengan kantor hanya lima menit jalan kaki. Kantorku terletak di jalan raya yang dilalui angkutan umum, sedangkan kostku terletak di jalan kecil. Dari kost menuju halte busway cukup ditempuh dengan berjalan kaki selama lima belas menit. Untungnya sih, untuk sampai ke halte busway tidak perlu melewati kantorku.

"Ehm."

Aku mendengar suara orang berdeham di dekatku dan menoleh ke kanan. Ada seorang cowok berwajah Eurasia sedang berdiri di sampingku. Bentuk rahangnya tegas. Dia bermata cokelat terang dan kulit kecokelatan karena terbakar matahari. Sepertinya, dia jenis cowok yang suka kegiatan di luar ruangan. Badannya yang tinggi dan tegap dibalut kemeja kotak-kotak berwarna merah dan celana jins belel. Aku masih berjongkok di samping mobil sambil memandang cowok itu tanpa berkedip. Dia tampak familier. Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi, bukan karena dia mirip cowok yang ada di sampul novel roman bacaan Isma dan Ria.

Dia membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu, tapi ucapannya tidak masuk ke dalam telingaku. Aku pun berusaha fokus untuk mendengarkan perkataan cowok itu.

"Mbak, ngapain di sini?" tanya cowok itu. Mukanya emang ada bulenya, tapi ngomongnya tanpa logat ala Cinta Laura.

Aku berdiri. "Er... enggak ngapa-ngapain," jawabku.

"Mbak sembunyi dari siapa?" tanya cowok itu sambil memandang ke sekeliling kami. Jalanan sepi hanya ada satu dua kendaraan lewat. Isma dan Ria berjalan semakin dekat, aku langsung menunduk. "Jangan-jangan Mbak habis nyuri dari rumah orang," tuduh cowok itu.

"Nuduh orang sembarangan. Masa maling kayak gini?" balasku sambil berdiri dan berkacak pinggang dengan mata yang terus mengawasi jalan.

Hari ini aku memang dandan, lengkap dengan blush on dan eye shadow. Aku juga memakai rok, blus dan kitten heels. Ini salah satu usahaku agar lolos wawancara kerja. Orang jaman sekarang melihat orang tidak hanya dari otak saja, tapi juga dari penampilan. Lihat saja iklan lowongan pekerjaan kebanyakan ada syarat berpenampilan menarik.

Biasanya aku ke kantor hanya memakai pelembab, tabir surya dan bedak. Baju kantorku bebas asal sopan. Kadang aku ngantor tanpa mandi, dan baru mandi saat istirahat.

Cowok itu masih memandangku. Tangan kanannya diletakkan di bibir, sedangkan tangan kirinya diletakkan di pinggang bagian kanan. "Iya sih belum pernah lihat maling kayak gini," kata cowok itu sambil mengamatiku. "Jangan-jangan Mbak lagi memata-matai rumah yang mau dicuri," tambahnya.

"Itu namanya fitnah, pembunuhan karakter kalau minjem istilahnya Dewi Persik?" tambahku.

Cowok itu tertawa. "Wah, Mbak suka nonton gosip ya? Sampai tahu Dewi Persik ngomong apa," goda cowok itu. "Apa jangan-jangan penggemarnya?"

Sialan! batinku.

Gara-gara Cesta, adikku, suka ngomong pembunuhan karakter, yang katanya diucapkan Dewi Persik, aku jadi ikutan. Aku tidak tahu kenapa dia ngomong itu. Kami jarang nonton TV, apalagi TV lokal. Tidak ada gunanya sih punya TV di kost lengkap dengan langganan TV kabel karena jarang ditonton. Tapi, pembantu di kost hobinya nonton gosip sama sinetron dengan volume super kencang. Mau tidak mau kita akan mendengarkan apa yang ada di TV.

"Ih, Mas jangan suka memfitnah orang dong," omelku.

"Sorry, ya. Kayaknya Mbak mesti cari tempat sembunyi lain. Aku mau pergi." Cowok itu mengeluarkan kunci mobil dari saku kemejanya. Dia berjalan ke kursi pengemudi dan membuka pintu.

Aku melirik jam tanganku. Yah, sudah pukul 09.25, bisa telat nih kalau enggak berangkat sekarang. Aku mengintip Isma dan Ria yang sedang berhenti di jalan kira-kira sepuluh meter dariku untuk membeli buah potong dari seorang bapak tua yang kata Michelle, teman kostku, ganjen. "Tunggu!" teriakku.

Cowok itu tidak jadi masuk mobil. "Kenapa?"

"Mas ke arah mana? Boleh nebeng sampai halte busway, enggak?" tanyaku penuh harap. Entah dari mana pertanyaan itu muncul. Kenapa tiba-tiba aku mau nebeng orang asing? Tapi, kalau dipikir-pikir sopir taksi sama tukang ojek kan juga orang asing. Eh, tapi cowok ini kan bukan sopir taksi atau tukang ojek. Yah, daripada telat yang penting usaha. Memang benar orang yang kepepet bakal melakukan segala cara. Aku berdebat dengan diriku sendiri dalam pikiranku.

Dia terkejut mendengar permintaanku. Beberapa saat kemudian, dia mengangguk, lalu masuk ke mobil. Aku membuka pintu mobil dan duduk sambil memasang sabuk pengaman.

"Makasih ya, Mas," kataku.

"Mbak mau ke mana?" tanya cowok itu sambil menyalakan mesin mobil.

"Ratu Plaza. Ada wawancara kerja jam sepuluh. Sudah mau telat, nih," kataku panik. Lalu lintas di Jakarta memang sulit ditebak macet jam berapa saja dan di mana saja.

"Oh, ya sudah nanti aku turunin di seberang Ratu Plaza. Kebetulan aku lewat situ," kata cowok itu.

"Oke," jawabku. Aku lega karena tidak bakal telat.

"Ngomong-ngomong, ibu kamu enggak ngajarin anaknya untuk enggak nebeng orang asing?" tanya cowok itu sambil melirikku.

"Ibuku ngajarin untuk enggak gampang percaya sama orang, apalagi kalau orang itu ganteng," jawabku sambil terus melihat jam tanganku dengan cemas, lalu mengalihkan pandangan ke jalan.

"Menurutmu aku ganteng?" kata cowok itu sambil fokus ke jalan raya yang ramai lancar.

"Menurutmu, kamu enggak ganteng?" balasku. Cowok itu tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

"Kamu enggak takut kalau aku bakal ngapa-ngapain kamu?" tanya cowok itu sambil menoleh ke arahku.

"Aku lebih takut kalau aku bakal ngapa-ngapain kamu kalau macam-macam," balasku. Untung aku bawa payung. Kalau cowok ini berbuat aneh-aneh, dia bisa kugebuk pakai payung. Aku juga mengecek apakah masih menyimpan gunting di kotak pensilku. Kubuka tasku dan kurogoh dalamnya untuk mengambil kotak pensil. Lalu, kubuka kotak pensil yang terbuat dari kaleng itu. Di sana ada gunting kertas  bergagang oranye. Aku melirik cowok yang ada di sampingku. Matanya fokus pada jalan raya.

Jangan macam-macam ya kalau enggak mau kutusuk pakai gunting! Oke, balik lagi ke kelebihan dan kelemahan. Kelemahan saya adalah enggak gampang percaya orang, tapi dalam situasi mendesak saya siap menanggung risiko. Seperti yang sedang saya lakukan sekarang ini, menumpang mobil orang asing biar enggak telat wawancara kerja. Kadang kita harus berani mengambil risiko demi mencapai tujuan.

Kami sibuk dengan pikiran masing-masing hingga mobil berhenti di seberang Ratu Plaza. Aku langsung turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih.

"Semoga berhasil," kata cowok itu sebelum aku menutup pintu.

Aku mengangguk.

__________________________

Author's Note:

Setelah cerita "You Can't Hurry Love" berakhir sambil nunggu sambungannya baca dulu cerita ini. Untuk yang "The Runaway Bride" terpaksa ditunda dulu karena kesalahan teknis jadi draft-nya nggak sengaja kehapus. Jadi harus nulis ulang. T_T

Sebelum ide cerita basi dan membusuk di otak mending diunggah di sini.

Sekian dan terima kasih.

Love Me If You DareWhere stories live. Discover now