Thomas mengerang dalam. "Jangan membodohiku, I! Jangan sampai aku memaksamu, karena kali ini, aku melihat matamu bisa jadi mainan yang menyenangkan!"

Irish melihat Thomas sesaat, lalu menunduk lagi. "Demi Tuhan, Tuan Thomas. Aku tak tahu kode itu!"

"Irish, aku akan mengaku padamu!" Thomas mengambil kursi dan meletakkannya di samping tempat tidur Irish.

Tubuh Irish seketika menegang, saat Thomas duduk di sana, lalu menjauhkan tombol emergency. Dia mengusap sisi kepala Irish pelan, lalu mendengus.

"I, aku memungutmu dari jalanan, membawamu ke galeri, memberimu pendidikan soal galeri dan seni. Aku memberimu tempat terbaik yang bisa kau impikan selama hidupmu. Aku mempercayaimu, menyayangimu seperti adikku sendiri karena kau tak punya siapa-siapa. Kalaupun kau masih punya seorang Bibi, dia tak peduli padamu!"

Irish melepas nafasnya dengan berat. Ya, dia punya banyak hutang dengan Thomas. Dibanding Jed, Thomas memang seperti kakak baginya. Thomas yang selalu ada untuknya kapanpun dia dalam masalah. Bertahun-tahun tinggal di jalanan membuat Irish susah untuk beradaptasi dengan kehidupan sipil. Dia terlibat beberapa kali perkelahian di dalam dan luar galeri. Begitu susah baginya untuk mengendalikan emosi. Belum lagi, masalah yang dia bawa sebelum masuk galeri. Hutang karena minuman dan narkoba, dendam tak berkesudahan antar geng. Thomas lah yang menyelesaikan semuanya. Lunas.

"Lalu, seperti petir di siang bolong, Irish, kau menusukku dari belakang!" Thomas mendengus lagi. "Apa yang harus kulakukan padamu? Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan? Aku bisa membunuhmu sekarang. Aku tak akan dipenjara, akan kubeli semua petugas itu dengan uangku! Aku bisa! Aku bisa membunuhmu dan bebas. Tapi, lihat kau! Apa kau tak pernah berpikir apa yang akan terjadi jika kau mengkhianatiku? Dimana kau taruh otakmu, Bodoh?" dia menoyor kepala Irish kuat.

"Maaf, Tuan!" Irish terisak.

"Bagian mana yang membuatmu berpikir bisa bebas dariku, Irish? Bagaimana bisa kau pikir Daxton akan lebih baik dari pada aku? Fuck, Irish!" serunya tertahan.

Tangan Irish terulur mengambil tangan Thomas. "Maafkan aku!"

"Lepas!" Thomas menyentak tangannya. "Kau bukan lagi Irish adikku!" ujar Thomas. Sekarang, dia sedih mengucapkan ini. Dia tahu kisah Irish. Kedua orang tuanya dan kedua adiknya.

"Tuan!" wajah Irish sudah basah lantaran air mata yang terus mengalir. Dia menghela nafasnya berat, melihat Thomas dengan pandangan menyesal. "Aku sungguh minta maaf, Tuan!" dia menunduk lagi. Tubuhnya berguncang seiring dengan desakan tangis yang makin jadi.

Thomas melihatnya nanar.

"Daxton pergi dengan lukisan itu. Kunci dalam kotak kaca, katakan maksudnya!"

Irish menggugu. Menggeleng lemah pada Thomas.

Dengan nafas tertahan, Thomas berdiri. "Where did I go wrong with you, I?" dia berkacak pinggang, melihat ke jendela sebentar, lalu melihat Irish lagi.

"Aku pernah begitu kecewa padamu satu kali, ingat saat kau pura-pura sakit dan tidak masuk kerja? Kau malah pergi menemui teman lamamu dan memeras nenek bernama Graneta di jalan? Aku begitu kecewa padamu saat itu. Tapi, aku maafkan karena kau begitu tertekan dengan beban kerja yang kuberikan." Thomas melipat tangan di depan dada.

"Maaf, Tuan. Maaf!" mohon Irish.

"Kali ini, aku tak bisa memaafkanmu. Aku sedih harus melihatmu serendah ini lagi, I. Bahkan lebih rendah dari pada penjahat di jalanan, dari binatang! Aku kecewa harus bertemu denganmu seperti ini. Aku tak bisa memaafkanmu!" Thomas mengambil langkah panjang untuk cepat mencapai pintu dan keluar dari sana.

Love Or DieWhere stories live. Discover now