23

6.1K 480 12
                                    

"You keep choosing the wrong one!"

Jed-

************

Cutinya akan berakhir dalam empat hari. Setalah itu, dia akan bertugas kembali. Jed memainkan kotak permen karet ditangannya. Dia mendengus, tertawa pelan. Kemudian, menarik handel pintu dan memasuki ruangan itu.

Dr. Theon Albert Graham punya ruangan yang luas, tentu saja. Dia direktur rumah sakit ini. Ruangannya tidak dipenuhi banyak furnitur. Hanya meja kerja, ruang duduk di dekat pintu- tempat dia menerima tamu, lalu sofa empuk di pojok ruangan, membelakangi jendela.

Jed berjalan menuju meja kerjanya, mengamati apa saja yang ada disana. Rapi. Meski sedang cuti, beberapa file tetap berada disini, menunggu untuk diproses. Jed mengambil salah satunya. Rencana pengembangan pusat studi otak tahap lanjutan. Dia menggeleng, membayangkannya saja dia pasti sudah gila. Entah bagaimana ayahnya bisa mengurusi hal-hal seperti ini di umurnya yang sekarang.

Tangan Jed terulur untuk mengambil sebuah figura. Dia tidak segera membaliknya, melainkan menebak apa yang mungkin terpajang disana. Dia mulai mengira-ngira kalau itu adalah foto mereka sekeluarga. Saat dia membaliknya, dia tahu dia benar. Setidaknya, bagian otaknya masih berfungsi dengan benar.

Melankolis tidak menolong sama sekali!

Kedatangannya saat operasi Ata, harusnya Jed tidak menyimpulkan lebih dari itu. Dia datang sebagai Dr. Graham seperti permintaannya, bukan sebagai ayahnya. Jed menggeleng. Dia mengembalikan figura yang hanya berisi foto pemandangan itu. Setelah itu, dia meletakkan kotak yang dia pegang dari tadi. Permen karet paforit sang ayah. Jed tahu pria itu masih suka mengkonsumsinya. Dia tidak tahu harus bagaimana, hanya ingin memberi ayahnya permen karet ini saja. Dia berterima kasih.

Dia kembali ke ruangan Ata setelah mengunjungi ruangan ayahnya. Menarik kursi di dekat tempat tidur Ata, dia duduk disana. Menumpangkan kepalanya di atas ranjang Ata, sedang tangannya memegang tangan gadis itu.

Operasinya berjalan lancar, meski lebih lama dari perkiraan. Proyektil berhasil diangkat dan sepertinya tidak terjadi efek samping yang berarti. Tapi, Ata belum siuman. Kondisinya belum terlalu stabil. Jed mendesah. Bersalah.

"Atlanta," dia berujar. "Terima kasih, karena kau, aku menemui papaku lagi. Ternyata, aku begitu merindukan mereka, Ata. Aku tahu dia juga, tapi dia masih marah. Kau tak akan percaya kalau dialah yang akhirnya memimpin operasimu, Sayang. Saat aku melihat dia datang malam itu, aku seperti akan meledak. Apa kau pernah merasa tersengat listrik? Aku pernah. Dan saat melihat papa datang malam itu, aku seperti tersengat listrik. Semua saraf dalam tubuhku terbangun."

Jed mengetukkan ujung jarinya pada telapak tangan Ata. "Hei, sudah saatnya bangun, Pemalas." Jed mengangkat kepalanya. "Ada banyak yang harus kita lakukan!" Jed mengusap pipi Ata pelan.

"Aku merasa bersalah padamu, pada Trevin juga. Aku tahu dia begitu khawatir padamu, Baby. Aku rasa, dia bisa saja membunuhku kalau dia mau. Untungnya dia berteman denganku lebih lama daripada dia mengenalmu." Jed tertawa. "Oh Baby," Jed mendesah pelan. "I miss you."

*

Thomas mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu itu. Dia berjalan menuju jendela dan berdiri disana. Memperhatikan halaman samping galeri yang sepi, tanpa pengunjung. Kafe galeri tutup. Thomas berbalik, melihat pintu kayu itu. Sudah dua jam Jed berada di dalam sana. Jed ingin sendiri. Seperti kebiasaannya selama ini, ruangan pribadinya yang satu inilah yang dia pilih.

Thomas menarik nafas, lalu berjalan mendekat. Menggaruk tengkuknya, dia akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu itu. Tak ada sahutan apa-apa dari dalam. Dia mengetuk lagi, masih bergeming. Tak ada respon, bahkan suara Jed-jika dia ingin Thomas pergi.

Love Or DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang