"Kenapa, Ga, kenapa?" Suara Jane terdengar pilu. Tidak tau kah Jingga bahwa kata-katanya bisa setajam pisau yang siap menusuk Jane kapanpun ia mau. "Kenapa harus dia? Kenapa bukan gue?"

"Hati yang memilih, bukan gue."

Jane menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap Jingga karena air matanya mulai mengalir. Jane merampas tasnya, lalu pergi meninggalkan mereka. Tanpa menoleh pada Jingga.

Bukan Jane membenci gadis itu, hanya saja, hatinya butuh waktu untuk memahami. Bahwa tiap-tiap hati berhak menjatuhkan pilihannya pada siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Hanya saja, pemahaman tersebut terasa sulit dan sesakit ini. Sakit, mengetahui seseorang yang kemarin sedekat nadi, bisa sejauh matahari.

***

"Hati-hati, Sen!"

Sofi melambaikan tangan ke arah Senja. Mereka berpisah di persimpangan jalan, Sofi mengambil arah yang berbeda, begitu juga Senja.

Senja tidak langsung pulang, melainkan mampir sebentar ke taman. Ini sudah sore, sebentar lagi langit biru akan berganti jingga, Senja tidak ingin melalui monent tersebut begitu saja. Dan Senja rasa taman adalah tempat terbaik.

Sampailah Senja di taman yang biasa ia kunjungi. Terbesit di benaknya saat ia main hujan dengan Jingga. Seru sekali. Andai bisa terulang kembali, pikirnya.

Senja duduk di salah satu bangku putih panjang yang tersedia di bawah pohon rindang yang mampu melindunginya dari sinar ultraviolet. Senja mengeluarkan buku hariannya dari dalam tasnya, ingin saja menuliskan sesuatu di sana. Selanjutnya, jari Senja sudah mulai menari di permukaan buku dengan pulpen merah muda.

Kau adalah embun pagi-ku.
Sejuk malam-ku.
Langkah kaki-ku.
Deru napas-ku.
Detak jantung-ku.
Getar nadi-ku.
Desir darah-ku.

Jadi, jangan coba-coba pergi.
Atau aku akan mati.

Senja membaca ulang apa yang ditulisnya, sedikit berlebihan menurutnya, biarlah, orang jatuh cinta bebas.

"Hai... "

Senja melihat siapa yang baru saja menyapanya. Astaga, untung saja Senja tidak punya riwayat penyakit jantung. Hampir saja ia jantungan.

"H-hai." Balas Senja dengan senyum ragu-ragu.

"Boleh duduk di sini?" Tanya gadis itu dengan senyum ramah dan mata sembabnya. Senja mengangguk, lalu gadis itu duduk di sebelahnya. Senja memasukkan jurnalnya kembali ke dalam tas. Gadis itu mengulurkan tangannya, "Jane."

Senja menyambutnya dengan melakukan hal yang sama, hingga sekarang mereka berjabat tangan. "Senja." Tak lama kemudian, jabat tangan mereka melerai.

"Sering ke sini juga?" Tanya Jane dengan nada yang amat ramah.

"Iya, sering."

Jane berdeham. "Dulu, ini tempat favorit gue. Suka duka gue berawal dari sini. Tempat ini mungkin hanya sebatas rumput hijau yang membentang luas dengan pohon-pohonan yang ikut meramaikannya. Bukan, menurut gue bukan sekedar itu."

Senja tau yang dimaksud Jane. Ia mengindahkan perkataan Jane, karena ia pun merasa begitum "Iya, aku setuju, Kak. Tempat ini mempunyai banyak makna yang tidak bisa dijelaskan lewat kata."

"4 tahun yang lalu, ada empat anak berseragam putih-biru. Salah satu diantara mereka, menghampiri gue dengan satu bunga dandelion sambil merayu, sebagai anak SMA, gue mikir kaya apa-apan sih nih anak, modal gombal receh aja gayanya tengil." Jane terkekeh mengingat kejadian yang baru saja ia ceritakan, seolah memori itu terekam dengan menggunakan kamera tercanggih di dalam kepala Jane. Namun Senja hanya mendengarkannya dan menyimak. Paham betul siapa yang dimaksud Jane. "Bayangin, ngerayu cewek pake satu bunga dandelion. Satu, bukan banyak. Udah tau bunganya seuprit." Jane menjedanya lagi, ia tertawa. Seperti itu baru terjadi kemarin.

Senja Dan JinggaWhere stories live. Discover now