Don't Think You're Alone

Start from the beginning
                                    

"Jieun-ah, jangan lakukan hal bodoh seperti ini! Pikirkan keluargamu! Masih banyak hal berguna yang harus kau lakukan!" Kataku setengah berteriak. Namun, seakan tidak mendengar perkataanku, Jieun menepis tanganku dengan sangat kasar. Sampai membuatku jatuh terduduk.

Aku meringis. Rasanya tulang belakangku seakan remuk begitu saja. Ditambah lagi kedua kakiku yang terasa semakin dingin seperti menginjak bongkahan es batu.

Kulihat Jieun yang sudah berdiri di atas kursi sambil melihat pemandangan yang ada di bawahnya. Angin yang membawa hawa dingin pun berhembus kencang sehingga membuat rambutku yang tidak sempat kuikat, menari-nari di udara.

"Sebenarnya aku iri padamu." Jieun menoleh ke arahku dengan wajah datarnya.

"Berhenti membual. Aku tidak punya waktu untuk itu."

"Aku heran apa yang membuatmu merasa menderita. Kau memiliki harta yang berlimpah, otak yang cerdas, bakat yang hebat, juga keluarga yang lengkap dan harmonis. Sedangkan aku? Keluargaku yang tersisa hanyalah ibuku. Aku sudah tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Bahkan aku tidak memiliki saudara kandung. Terkadang aku ingin kembali ke masa kecilku. Dimana aku masih memiliki seorang ayah, masih bisa merasakan hangatnya pelukan seorang ayah, merasakan kasih sayangnya, diantarkan ke sekolah olehnya. Jika aku terjatuh, merasa sakit, dan mulai menangis, ayah selalu menguatkanku, memelukku, menghapus air mataku, dan menghiburku agar aku tidak bersedih lagi. Tapi sekarang? Aku sudah tidak bisa merasakan itu semua. Terkadang aku marah kepada Tuhan karena telah mengambil nyawa ayahku, sebelum aku bisa membahagiakannya."

Tak terasa, setetes air mata jatuh dikedua pipiku. Aku menghela nafas sebelum kembali melanjutkan kalimatku.

"Kau mungkin tidak tahu, bagaimana sedihnya kehilangan seorang ayah. Aku hampir gila karena mengetahui ayahku telah tiada. Bahkan dia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal atau setidaknya bertemu denganku sebelum ajal menjemputnya. Kenangan terakhir yang kuingat saat bersamanya, ketika ayahku mencium keningku dengan hangat dan mengatakan aku menyayangimu, Yeon-ah, putri kecil ayah yang sangat ayah banggakan. Aku tidak tahu kalau itu kalimat terakhir yang dia ucapkan kepadaku. Hiks..hiks.."

Tangisku pecah begitu saja. Air mataku mengalir begitu deras tanpa bisa kukendalikan. Aku mengepalkan jari-jariku untuk menahan rasa sakit dan pedih yang kurasakan. Jieun tidak merespon ucapanku. Dia hanya diam di tempatnya. Dan tiba-tiba saja, isakan tangis terdengar dari mulutnya.

Aku menghentikan tangisanku dan bangkit dari tempatku duduk. Kemudian aku pun menghapus air mataku yang masih saja mengalir.

"Baiklah. Silahkan jika kau ingin mengakhiri hidupmu disini. Kali ini aku tidak akan melarangmu lagi. Jika dengan mati kau akan merasa bahagia, maka lakukanlah! Aku tidak tahu, bagaimana reaksi ibumu jika tahu anaknya mati konyol seperti itu. Kuharap ibumu tidak gila karena kehilangan seorang putri yang sama sekali tidak memikirkan perasaannya." Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku pun berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Meninggalkan Jieun yang masih terisak disana.

***

Dua hari setelah kejadian itu pun berlalu. Dua hari setelah kejadian itu pula aku tidak melihat Jieun di kelas. Aku bingung, kenapa Jieun tidak masuk sekolah? Apakah dia sakit?

Aku menyesal karena telah membiarkan dia menangis di atap dua hari yang lalu. Dia sudah cukup menderita. Seharusnya aku menghiburnya, bukan membuatnya menangis.

Sesaat setelah kejadian itu, aku sempat mengkhawatirkannya. Aku takut dia benar-benar akan mengakhiri hidupnya. Tapi aku bersyukur, karena dia tidak jadi melakukan itu.

Kelas jadi terasa sepi bagiku. Karena selain tidak ada Jieun yang rajin dan pendiam, juga tidak ada Kyungsoo yang jahil dan menjengkelkan. Sudah dua hari pula Kyungsoo absen. Tidak biasanya Kyungsoo seperti ini.

Beautiful Days [Completed]Where stories live. Discover now