"Mereka dapat Irish. Kau hubungi Alpha. Ini buruk. Kau tahu apa yang direncanakan Jed?"

"Kau pikir?" sergah Ata. "Sialan Henry!" dia menutup telepon dan mengontak Alpha.

"Aku pimpin mereka ke sana, tak ada yang boleh bergerak selain tim yang kubawa. Kau dengar aku, Omega? Jangan kacaukan ini. Delta harus di sana, dia tahu lokasi persisnya. Kirim orang lain untuk mengikuti Jed. Siapapun asal jangan kau!" perintahnya tegas.

"Apa maksudmu?"

"Minta tim medis bersiap. Aku yakin Irish sudah babak belur sekarang!" suara Alpha terdengar dalam. "Kau paham? Setelah itu, kau kabari Henry dan pulang."

"Kau memerintahku?"

"Apa kau akan menolak kuperintah? Kau tidak punya banyak waktu. Cepat kirim orang lain mengikuti Jed!"

Ata membanting gagang telepon dan mengontak balik Henry. "Aku akan kirim Gamma mengikuti Jed," lapornya.

Henry menghela nafas. "Baik." Henry setuju.

Ata segera mengontak Gamma, menugasinya untuk mengikuti Jed yang kini sudah naik taksi menuju jembatan kota. Ata mendesah berat dan duduk tak nyaman di bangkunya. Dari semua tempat, kenapa malah jembatan kota? Oh Jed, maafkan aku!

Ata membereskan berkas di mejanya secepat yang dia bisa. Sambil tetap memerhatikan dimana Jed sekarang. Laporan Gamma juga tetap diterimanya. Rekannya itu hampir sampai di lokasi Jed sekarang. Tangan Ata meraih gelas yang terisi air putih dan meneguknya cepat. Dia menyumpal telinganya dengan bluetooth headset dan berjalan keluar ruangan menuju lift. Dering ponselnya ditambah suara berisik orang-orang di kantor membuat kepalanya mau pecah. Dia menghentikan langkahnya, menarik nafas untuk coba tenang. Dia bisa gila kalau seperti ini.

"Kau baik-baik saja, Ata?" tegur salah satu rekan yang melihat Ata sangat pucat.

Ata mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku tak papa. Kau mau turun juga?"

"Iya," dia menekan tombol di samping pintu lift. "Ponselmu bunyi,"

Ata menghela nafas. Dia memang sengaja membiarkan ponselnya berbunyi. Dia menekan satu tombol pada headsetnya dan mendengar laporan.

"Jed is down. Jed is down. Jed is down." Gamma melapor pada semua orang yang sekarang menerima panggilannya. "Jembatan kota. Jed is down. Red code!"

"FUCK!" geram Ata sebelum dia berlari menuju ujung ruangan dan membuka pintu darurat.

* *

*

Semuanya berubah secepat membalikkan telapak tangan.

Jed harus menerima bahwa gadis itu juga tokoh antagonis dalam hidupnya.

Pelan, dia membuka matanya yang terasa perih dan berat. Tatapannya perlahan memutari langit-langit. Aroma yang familier, langit-langit yang familier. Dia membuka matanya lebih besar dan rasa sakit membuat Jed meringis. Dia berada di kamarnya sendiri. Di rumah besarnya.

"Jed,"

Oh, suara yang familier!

Jed menolehkan kepalanya, mendapati Ata duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Mengenakan pakaian biasa, t-shirt dan jeans. Rambutnya tak disisir rapi dan wajahnya tampak kelelahan. Namun, dia menatap Jed dengan sorot lega. Laki-laki itu sudah siuman. Jed mengalihkan pandangannya dan mencoba mengingat apa yang mengantarnya kesini. Saat dia mencoba membangunkan tubuhnya, Ata menolongnya.

Love Or DieWhere stories live. Discover now