memory*20

100 8 0
                                    

Dua tahun kemudian.

Kenina kini sedang duduk di kursi meja belajarnya, sudah sejam lalu ia duduk disitu tapi tidak ada yang ia kerjakan sejak tadi.

Buku tebal dihadapannya sama sekali tidak menarik ia untuk membaca atau memahaminya lebih lanjut, padahal besok adalah hari terakhir ia melaksanakan Ujian Nasional untuk kelulusan masa SMA-nya.

Tapi, apalah daya? Kenina sama sekali tidak bisa menyerap pembelajaran itu, otaknya sungguh bermusuhan dengan pelajaran itu, Matematika. Itu sudah hampir musuh bagi semua pelajar.

"Huffttt, coba Satria bisa kesini buat ajarin aku, dia kan pintar. Tapi, malang deh nasib aku yang pacarnya masih ngurusi tugas kampus yang menumpuk. Huffttt."

Kenina terus menghembuskan nafas gusar.
Sedari tadi ia terus mengeluh karena tidak ada yang bisa membimbingnya saat ini.
Dan melamun adalah pilihan terakhirnya.

"Kalau kamu ngeluh gitu mana ada tuh rumus langsung masuk ke otak kamu."

Mendengar itu Kenina spontan menoleh kebelakang dan mendapatkan Satria kini tengah bersedekap di daun pintu dengan tas yang masih di punggung-nya.
Tapi tidak lama dengan posisi itu, Satria mulai melangkah mendekati Kenina yang masih duduk dikursi.

"Kok kamu sudah pulang? Bukannya tadi kamu bilang pulang nanti sore? Terus ini masih jam dua."
Kenina berbicara datar tidak ada ekspresi, dan tanpa menatap Satria.

"Kenapa? Gak boleh? Jadi ceritanya ngambek nih?"
Satria mencoba mengoda Kenina yang sedari tadi tidak mau melihat kearah.

"Iyalah ngambek, kemarin kan aku udah bilang mau minta diajari hari ini sama kamu, kamu tau kalo aku lemah sama Matematika dan kamu itu pintar di segalanya. Kemarin bilang bisa, eh... Pas tadi aku udah siap-siap belajar kamunya Sms lagi ada tugas kampus. Kan aku kesel kamu tiba-tiba gak bisa. Seharusnya kamu bilang dari aku masih di sekolah, jadi aku bisa ajak Naura kesini dan belajar bareng. Kamu tau kan kalau Naura udah pulang kerumah dan sudah belajar, dia pasti susah buat dia ganggu, terus--"

"Masih panjang gak?"
Satria memotong ucapan Kenina yang tiada ujung itu, begitu lah Kenina jika dia kesal pada Satria dia akan mengoceh panjang lebar.

Mendengar pertanyaan jengah Satria, Kenina langsung mengembungkan pipinya kesal.
Berharap Satria akan tau jika dia marah dan meminta maaf. Tapi itu langsung ditepis oleh tawa Satria yang menggelegar.

"Ih malah ketawa, aku marah tau!!"
Kenina masih mempertahankan pipinya.

"HAHAHA, abisnya kamu lucu kalau begitu, udah deh gak usah marah lagi. Ayo aku ajari kamu sekarang."

Tanpa berbicara apa-apa lagi, mereka langsung bergelut dengan buku-buku tebal yang mengerikan bagi Kenina, tapi tidak untuk Satria tentunya.

"Dan hasil akhir Himpunannya kamu kali-in dengan angka di yang ada di soal A."

Kenina mengikuti intrusi dari Satria dan...,
"Akhirnya selesai, udah hampir setengahlah aku ngerti, besok sebelum bel masuk aku ulang lagi."

Setelah berkutak dengan buku selama dua jam lebih, akhirnya Kenina merasa terbebas kan dengan pelajaran itu.
Lega, kenina merengangkan badannya yang terasa kaku.

"Eh kamu mau minum gak? Entar aku ambilin."
Kenina sudah berdiri dan hendak keluar kamar untuk mengabil minum untuknya dan Satria. Tapi, baru mau berdiri ia sudah langsung duduk lagi karena Satria menahan lengannya.

"Apa apa?"
Tanya Kenina heran dengan Satria yang mencegatnya.

"Kamu ikut aku yuk, ada yang mau aku tunjukin sama kamu."

In Memory (On Editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang