memory*19#2

73 7 0
                                        


*

"Mas dia bangun."
Lili membisikkan kata itu pada suaminya, dan ia sudah diketahui oleh suaminya.

"Hai.. "
Sapa Lili dengan senyum yang sedari tadi terus mengembang.
Anak yang disapa hanya diam, tidak membalas sedikit pun. Anak itu hanya menatap lurus kearah mereka berdua.

"Nama kamu siapa?"
Lili bertanya karena tidak ada reaksi sedikit pun dari anak itu.

"Sayang biarkan anak itu memuliakan tenaganya dulu, dan aku akan memangil dokter."

Lili tak menghiraukan, ia terus menatap anak laki-laki kecil itu dengan senyuman yang tidak pernah pudar walau anak itu tidak merespon apapun.

Mengurus anak itu dengan telaten, ia terus berada disamping anak itu ketika tadi anak itu belum sadar.
Kondisi anak itu tidak parah dan luka yang ada hanya sedikit goresan-goresan kecil di tangan maupun dikaki, tapi luka itu sudah di tuntaskan oleh Lili, bajunya yang basah pun sudah di ganti oleh Lili.

Ia sungguh senang saat ini, amat sangat senang. Karena selama kurang lebih lima tahun menikah mereka belum juga memiliki anak. Lili yang menyukai anak kecil, dia ingin sekali mengurus dan memanjakan anaknya kelak. Mengingat itu lili merasa sedih.

Tapi sekarang tidak lagi, karena ia sudah memiliki anak itu. Bagaimana pun caranya ia harus memiliki anak itu.

"Sayang ini dokter-nya sudah datang."
Suami Lili datang bersama lelaki paruh baya di sampingnya.

Lili langsung mengizinkan dokter itu masuk dan memeriksa anak itu, selama dokter itu memeriksa ada kecemasan dihati lili, takut jika nanti anak itu terluka di bagian dalam tubuhnya.

Dan ternyata kecemasan Lili itu benar, setelah dokter itu memeriksa dan mengatakan pada mereka bahwa anak itu mengalami benturan di kepala belakang-nya.
Dan dokter menyarankan anak itu dibawa kerumah sakit untuk menjalankan CT-scan pada bagian kepala, takutnya benturan itu akan merusak otak kecilnya.

"Kita harus membawanya kerumah sakit sekarang!! "   suara bariton dari suaminya itu menghentakkan lamunannya.

"Tidak, jangan bawa dia kerumah sakit, bagaimana jika ada yang mengenalinya? Dia pasti akan diambil kembali."

Lili masih pada pendiriannya, sejak awal ia tidak akan pernah melepaskan anak itu. Bagaimana pun caranya ia akan memiliki anak itu.

"Tapi anak itu harus di obati, lagipula dia bukan anak kita, kita tidak berhak memisahkan dia dari orang tuanya."

Lili tidak mengubris sedikit pun, ia hanya memandang lurus anak yang sejak tadi hanya diam menatap mereka.
Tangan Lili terulur mengelus pipi gembul dan putih anak itu, ia tidak akan rela melepas anak ini. Lili memeluk anak itu dan menagis sesegukan. 

"Tolong jangan hilangkan kebahagiaanku, aku ingin anak ini, aku sudah lama menginginkan anak dan dia hadir di sini, itu berarti anak ini adalah milikku."

Lili terus menagis tanpa mau melepaskan pelukan eratnya, tapi beberapa saat kemudian anak itu menguraikan pelukan itu.
Anak itu terus menatap lili yang menagis lalu tangannya mengusap pipi basah lili.

"Umi jangan nagis."
Suara lembut itu sangat menghangatkan hati Lili sekaligus menghancurkan hatinya.
Ia dengar dengan jelas anak itu memangilnya Umi dan itu berarti anak itu melihat Lili sebagi ibu kandungnya, Lili meringis ia tidak ingin anak itu terus mengingat ibu kandungnya.

In Memory (On Editing)Where stories live. Discover now