part 36

50.5K 2.3K 31
                                    

Anisa enggan menguhubungi Rama, setidaknya ia masih perlu waktu. Seharian kemarin ia benar-benar ingin tau apa yang dirasakan Rama. Berbagai pertanyaan menumpuk di kepalanya.

Kejujuran Gadis waktu itu membuatnya semakin yakin, cinta mereka tetap terjaga walau logika dari keduanya berada di batas menyerah.

Terdengar ketukan dari luar dan pintu kamar Anisa berdecit karena seseorang membukanya.

"Sudah, Nis?" tanya ibu yang kepalanya menyumbuk dari balik pintu.

Anisa mengambil tas bermodel clutch bag berwarna merah dengan rantai yang berwarna perak.

Anisa dan keluarganya akan menghadiri acara lelang amal untuk bencana alam yang terjadi bulan ini. Sudah pernah dikatakan bukan jika keluarga Anisa bukanlah keluarga biasa yang sederhana?

Anisa dan keluarganya sampai, banyak sekali orang yang bertemu dan berbincang-bincang dengan mereka bertiga. Tak jarang menanyakan bagaimana kabar Anisa yang selama ini hilang dari pandangan mereka.

Karena kelelahan dan Anisa sangat menyesal malam ini mengenakan stiletto hitam yang ia beli kemarin bersama Mahira, akhirnya Anisa memutuskan untuk pergi mencari minum.

Anisa mengambil salah satu gelas berisi cairan bening berwarna hijau dan meminumnya perlahan sebelum kedatangan seseorang di depannya membuatnya tersedak.

"Nis?" Rama kini berdiri menjulang di hadapannya.

Anisa menyeka bibirnya yang masih meninggalkan bekas sirup disana. Meletakkan kembali gelas yang ia pegang dan menatap wajah Rama.

"Hai."

"Hai."

Rama senang, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman yang selalu Anisa rindukan.

Setidaknya malam ini untuk pertama kalinya, Anisa mau membalas sapaannya. Tidak ada tatapan tajam ketika mata mereka bertemu, tidak ada lagi raut wajah angkuh yang ditunjukan oleh Anisa selama ini.

Ingin rasanya Rama memeluk wanita yang sudah ia rindukan ini. Tapi ia takut, Anisa tak ingin drkat-dekat dengannya.

Rama kembali tersadar apa yang membuatnya berjalan mendekati Anisa tadi, "Apa kabar?"

"Baik."

Hening, Anisa tak juga membalas bertanya kabar untuk Rama.

"Bisa kita bicara, Nis?" Anisa mengangguk dengan cepat, memang itu juga yang ia inginkan.

*****

Aku tidak mengakhiri dengan memberi tanda titik dalam hubungan kita. Tapi aku tak tau, kenapa koma yang kau berikan terasa begitu lama?

Rama POV

Aku memandang undangan pernikahan berwarna putih dengan tinta emas di setiap baris kata yang tertulis di dalamnya.

Terdapat nama seorang wanita yang dalam hatinya dulu pernah terisi olehku.

Tak ada keberatan dalam hatiku, aku rela ia membangun keluarga dengan lelaki yang dicintainya. Sungguh!

Lebih senang rasa di hatiku ketika melihatnya datang dengan wajah berbinar sambil menunjukkan jari tangan kirinya yang tersemat cincin emas putih, ia berkata kekasihnya sudah melamarnya.

Aku tak tau waktu akan berlalu secepat ini, dulu di sebuah pantai ia berani mengatakan mencintaiku dan menciumku malu-malu dan sekarang lihatlah! Aku yang sedang memakai kemeja putih, jas berwarna biru dongker dengan celana senada warna jasku tengah berada di sebuah pesta besar yang memuat berpuluh-puluh orang.

Ku arahkan kakiku melangkah ke pelaminan. Untung sepinya pengantri membuatku bisa cepat berada di depannya sekarang.

"Hey Ramaaa..." teriaknya heboh ketika melihatku berjalan ke arahnya.

Gadis melepaskan genggaman tangan suaminya dan memelukku erat.

Aku jadi sungkan dengan Theo, untungnya lelaki itu sudah mengerti seluk beluk hubunganku dengan Gadis sebelumnya.

"Hai Dis." sapaku ketika akhirnya dia melepas pelukannya. Kulihat matanya berair. Menangiskah ia tadi?

"Aduuuh, sedih deh."

"Kenapa?" tanyaku. Gadis mengusap beberapa butir air mata yang masih menggantung di ujung kelopaknya.

"Seharusnya kan kamu sama Anisa duluan, baru aku."

Aku tersenyum ragu, Gadis masih mengingatnya. Bahkan Gadis yang selama ini menjagaku dari wanita-wanita lain dengan cara menempeliku. Tak jarang ada beberapa wanita yang mendekatiku dan mengira Gadis kekasihku.

Aku sih santai, karena merasa sekarang hubungan kami sudah murni pertemanan biasa.

Gadis juga sering mengancam dan mengingatkanku begini "Inget Anisa!" , "Mata Ram, mata! Anisa bisa ngerasain kalau kamu jelalatan!" ketika aku dengan sengaja melirik wanita lain, padahal aku hanya sekedar melirik. Tak ada sisi hatiku yang berniat membuka cerita baru dengan wanita lain.

Seolah hati dan logikaku sekarang sedang sepakat bahwa aku harus menutup pintu hatiku karena tak dapat membagi siapapun di dalamnya. Walaupun entah bagaimana kabarnya, walaupun entah dimana ia sekarang, yang jelas sudah satu setengah tahun sejak kepergiannya dan sampai saat ini aku belum bertemu dengannya.

Bukannya aku tak mau menemukannya, hanya saja kupikir ia butuh waktu. Dan itu artinya adalah menghindar dari diriku.

"Gara-gara Theo nih buru-buru banget ngajak nikah!" aku tersadar lagi dari lamunanku dan melihat Gadis yang mengerucutkan bibirnya.

"Yaah, entar kamu keburu diiket orang lain Dis."

"Diiket emang aku kucing apa?"

"Kalau kucing berarti kamu bisa mengeong."

"Ihh, apa banget sih Theo!!"

Dan Rama ikut tertawa melihat kedua pasangan yang baru saja resmi menyandang gelar suami istri itu.

Gadis yang terlihat judes tapi manja setengah mati ke Theo, dan sebaliknya Theo yang penurut dan terlihat sangat peduli pada Gadis. Mereka berdua terlihat saling mencintai.

Mereka sering sekali meributkan hal-hal kecil. Berbeda dengan hubungan Rama dan Anisa dulu yang hampir tak pernah menemui pertengkaran.

Entah cinta bagaimana yang Gadis dan Theo rasakan?

Tapi yang jelas cinta sejenis itu dapat mengikat mereka berdua menuju pelaminan.

"Semoga langgeng sampai tua. Semoga hidup baru kalian penuh kebahagiaan."

"Aaamiiin.."

"Aaamiiin.." jawab Theo dan Gadis berbarengan. Gadis maju mendekat ke arah suaminya dan memeluk Theo penuh rasa sayang.

"Semoga hidup kamu juga akan menemui kebahagiaan ya Ram! Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu dan juga Anisa."

"Thanks Dis."

ONE MORE TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang