part 24

51.2K 2.9K 51
                                    

Aku ingin terus berlari tanpa merasakan lelah agar aku tidak pernah berhenti dan menoleh ke arahmu lagi.

*****

Munich.

Anisa meregangkan otot tangan yang pegal karena hampir seharian ini dia tertidur di atas kasur empuk yang masih terasa asing baginya.

Dia melihat ke sekeliling kamar, ternyata tirainya sudah tertutup semua. Kak Niki pasti yang melakukannya.

Diambil kruknya yang tersimpan di sebelah ranjang. Walaupun Dokter Anjani berkata dia sudah bisa berjalan dengan sedikit lebih lancar, tetap saja hidupnya masih bergantung pada kruk.

Anisa keluar dari kamar dan mendapati kak Niki yang masih menekuri laptop di pangkuannya.

"Kak.." mendengar rengekan adik perempuannya itu Niki mendongak dan menaikkan sebelah alisnya seolah berkata, apa?

Anisa menjawab dengan menepuk perutnya. Niki meletakkan laptop di atas meja dan bangkit.

"Di sini kamu tidur bangun makan, tidur lagi. Mandi juga belum kan dari tadi pagi?" tanya Niki, walaupun cerewet tetap saja ia menyiapkan spagetti ke dalam mangkuk untuk Anisa.

Anisa mencebik kesal dan duduk di kursi meja makan yang disetting mirip bar.

"Capek, menyebrangi benua dan samudra kan lama."

"Lebay!" Niki balas menggerutu dan menyerahkan mangkuk yang diterima Anisa dengan senyum mengembang.

"Nis, besok pagi kakak anter ke tempat terapi trus jangan pulang sendiri, tunggu kakak jemput mau sampe sore kek malem kek gak peduli."

Anisa balas mengangguk, "Mama sama papa nelpon gak?"

"Iyaa, katanya kamu jangan lupa baca kamusnya itu."

"Loh, lupa kali ya ini anaknya pernah dua kali menang olimpiade bahasa Jerman?"

"Sombong!"

"Ya kakak tuh yang harus baca, orang paling bisanya ich, du, sama guten morgen." Anisa menertawakan kakaknya yang memang tidak semahir dia dalam pelajaran bahasa Jerman.

"Ya paling gak kan tau. Kalau di kantor kan orangnya paham bahasa Inggris. Gempil!" Niki ikut duduk di sebelah Anisa dan menata rambut adiknya yang mencuat kemana-mana.

"Seneng Nis?"

Dan dijawab Anisa anggukan semangat, Anisa memeluk kakaknya dan mencium pipi kakaknya dengan bibir yang belepotan saus spagetti.

"Sengaja nih!" Niki mengusap kasar pipinya dan meraih tisu terdekat.

"Seharusnya aku yang tanya, Kak Niki seneng gak aku ajak kesini?" Niki yang sebenarnya paham maksud adiknya hanya diam tak menjawab.

"Yang mau terapi ketemu dokternya itu aku lho kak! Jadi yang nervous seharusnya aku bukan kakak." dan pecah lagi tawa Anisa.

Niki antara senang dan khawatir sekarang. Senang karena adiknya akhirnya bisa tertawa lagi setelah meninggalkan Indonesia, dan khawatir dengan kondisi hatinya jika bertemu lagi dengan wanita itu. Memikirkannya saja membuat jantungnya berdegup kencang.

*****

Rama memotong daging di piringnya menjadi semakin kecil dari ukuran sebelumnya. Terus seperti itu hingga separuh dari nasi ibunya sudah habis.

"Mas Rama kok gak makan? Sudah bosen masakan ibu?"

Rama hanya menggeleng menjawab pertanyaan ibunya.

"Gak usah galau-"

"Gak usah ikut ngomong, gak ada yang paham." Rama menghentikan ucapan kakaknya.

"Kok kasar sama Mbaknya, Ram?" tanya ibunya mencoba menenangkan anak bungsunya yang sudah uring-uringan sedari kemarin.

"Kan kemarin bapak juga sudah telpon itu om Anton. Katanya memang Anisa sedang pergi. Mas Rama yang sabar dong. Kalau cinta ya harus mau nunggu." ibunya kembali membuka suara.

"Ya tapi kalau nunggunya yang pasti Rama mau."

"Nah pas itu udah ada yang pasti masih aja dapet cewek yang lain." Iko yang duduk di sebelah istrinya menyenggol lengan istrinya pelan.

Natania yang sadar perkataannya tadi sudah melewati batas barulah ia terdiam.

"Temennya Mas Rama apa kabar?" ibu Rama memang begitu, selalu mencari obrolan baru agar suasana selalu ramai.

Ibu dan bapaknya yang asli Solo ini selalu berkata bahwa sopan santun adalah hal yang utama. Tutur kata ibunya yang sopan dan bapaknya yang sebenarnya peduli tapi juga pendiam membuat Rama selalu nyaman berada di rumah.

"Temen yang mana?" tanya Rama yang akhirnya membuka mulutnya dan menyuapkan nasi dan lauknya.

"Temen yang kemarin ketemu sama Anisa waktu di pantai."

Ibunya tahu, sepertinya ini ulah kakaknya yang bercerita. Karena selama ini Rama hanya menceritakan bahwa ia dan Anisa hubungannya sedang merenggang.

"Rama gak tau, Bu. Rama gak pernah kontak lagi sama dia."

"Kenapa?" tanya ibunya ingin tau.

Rama menggeleng, dan ibunya menarik napas panjang.

"Mas Rama gak boleh bersikap seperti itu, kalau Mas Rama menghindar dan tidak berbicara lagi sama temen perempuan Mas itu seolah-olah Mas Rama menyalahkan dia. Sepertinya dia tak tau apa-apa kan?"

Rama mencerna perkataan ibunya. Memang bukan Gadis yang salah disini. Lalu siapa? Dirinya?

"Bertemulah sesekali padanya. Ucapkan penolakan jika memang Mas Rama tidak suka supaya wanita itu tidak berharap lagi. Berikan penjelasan, ucapkan dengan halus. Jangan menyakiti hatinya ya, ingat Mas! Hati seorang wanita itu sangat lembut."

Iya benar! Hati seorang wanita sangat lembut, seperti perkataan ibunya yang tidak memojokkan dan menyalahkan segalanya pada Rama.

Ibunya selalu seperti itu, jadi jangan salahkan Rama jika ia berharap istrinya nanti selembut dan sebaik ibunya. Bukankah Anisa sudah termasuk calon yang pas bagi Rama? Ah Anisa lagi.. Rasanya sampai sekarang beban Rama semakin berat saja, ditambah dengan keberadaan Anisa yang tak tau ada dimana.

Rama tersadar segera mengambil ponselnya.

Rama Atmaja : Dis? Bisa ketemu sekarang?

ONE MORE TIMEWhere stories live. Discover now