"Alesan!" Rama menyentil hidung mancung milik Anisa.

"Kurang aku yang nyemangati kamu, Nis?" tanya Rama dengan sabar.

"Sudah cukup. Tapi setidaknya aku punya barang kesayangan yang berkesan. Biar bisa aku inget."

"Inget kalau kamu pernah lumpuh?" tanya Rama lagi yang kali ini berhasil membuat Anisa terdiam.

Rama meraih bahu Anisa dan mencengkramnya agar Anisa menatap ke arahnya.

"Nis, dengerin aku. Kalau kamu beli sekarang dan nyimpen disini, sepatu itu bisa nyemangati kamu dan sebaliknya, dia bisa jatuhin kamu juga. Kalau mood kamu bagus kamu bisa semangat, tapi kalau mood kamu jelek, kamu bakal ngerasa sepatu ini hina kamu. Nanti dia semakin buat kamu terpuruk."

"Sembuh itu bukan karena ada sepatu atau enggak. Sembuh itu karena semangat dari diri kamu sendiri, Nis."

Anisa tetap diam dan menunduk kali ini. Rama mendongakkan dagu Anisa.

"Aku janji setelah sembuh. Aku beliin kamu sepatu kayak gini. Bahkan yang lebih bagus dari ini."

Senyum Anisa timbul lagi, "Janji?"

"Iyaa. Janji, Nis. Kamu percaya sama aku?"

Anisa mengangguk semangat, "Aku selalu percaya kamu, Ram."

"Mbak?" salah seorang pramuniaga yang tadi diminta tolong untuk mengambil ukuran stilleto hitam itu kini sudah kembali rupanya.

Anisa mengambil kotak itu dan duduk di salah satu kursi panjang di depan cermin. Anisa memakai sepatunya dan entah bagaimana caranya hal biasa seperti ini mampu membuat hatinya sangat bahagia.

"Sepatunya pas. Cantik lagi di kaki mbaknya." kata pegawai toko yang masih berdiri di samping Anisa.

Anisa hanya balas tersenyum dan meletakkan lagi sepatu di kotaknya.

"Saya ambil ini ya."

Dan pegawai toko itu segera mengambil kardus berisi sepatu yang tadi Anisa coba untuk dibawa ke kasir.

Saat Anisa ingin beranjak tiba-tiba seorang bayi perempuan berlari memasuki toko sepatu itu dan jatuh terjungkal di depan Anisa.

Bayi perempuan itu menangis kencang-kencang. Anisa yang sudah memakai kembali flatshoesnya segera berdiri dan menghampiri bocah malang itu.

Anisa segera menggendong bayi itu dan terlihat pipi mungilnya merah karena harus berbenturan dengan lantai.

"Sakit ya? Aduuh cup cup cup." Anisa berusaha memposisikan bayi itu senyaman mungkin dan mengusap pipinya penuh sayang.

"Anak siapa, Nis?" tanya Mahira menghampiri Anisa.

Anisa menggeleng, "Gak tau."

Bayi perempuan itu masih terus menangis dan menggeliat resah dalam gendongan Anisa.

Anisa kewalahan, ditambah lagi sang bayi yang meletakkan tangan menutupi wajahnya semakin mempersulit Anisa mengetahui bayi ini milik siapa.

"Ana?" teriak lantang seorang lelaki dan berjalan menghampiri Anisa.

"Ramaa!!" panggil Mahira spontan.

Rama menghentikan langkahnya dan mengangkat wajahnya melihat siapa yang memanggilnya.

Mata Rama dengan cepat melihat ke arah Anisa walaupun Rama yakin bukan suara Anisa yang memanggilnya tadi.

Mahira yang baru sadar dengan keadaan ini hanya bisa melihat interaksi dua patung bernapas di depannya ini dengan bingung.

Bayi perempuan dalam gendongan Anisa merengek dan mengulurkan kedua tangannya ke arah Rama.

Barulah Anisa sadar siapa yang ia gendong. Bayi ini.. Masih jelas berada di ingatannya tentang keluarga bahagia Rama.

Rama yang melihat Ana menangis segera mengambil Ana dari gendongan Anisa. Sepertinya Rama sudah tak sudi aku menyentuh anaknya. Cih, dipikir aku sengaja melakukannya.

Anisa menatap tajam ke arah Rama yang sekarang menepuk pinggul Ana dalam gendongannya. Ajaibnya, bayi itu diam dan mungkin karena terbiasa, sang bayi terlihat nyaman meletakkan kepalanya di pundak Rama.

"Ini anak kamu, Ram?" tanya Mahira. Bodoh! Umpat Anisa yang kini berganti untuk sahabatnya.

Apa Mahira tak melihat Anisa ada disini? Jika sudah melihat, apa Anisa terlihat seperti mau mendengar jawaban dari Rama?

Seorang pegawai toko datang dan menyerahkan kantong belanjaan milik Anisa.

Syukurlah.. Tuhan menyelamatkannya kali ini.

Anisa meraih dompetnya, mengambil beberapa uang dari dalam sana dan menyerahkannya pada pegawai toko tadi.

"Kamu udah selesai Ra? Kalau udah ayo keluar." ajak Anisa dengan tegas mencengkram lengan Mahira tanpa sengaja.

Mahira yang mengerti keadaan Anisa hanya mengangguk saja, toh memang ia sudah selesai berbelanja.

"Nis..." setelah kembali dari Indonesia, ini adalah kali pertama lelaki di depannya sudi memanggil namanya kembali.

"Seharusnya kalau belum bisa ngurus anak sendirian. Kamu ajak istri kamu biar bisa mantau anak kalian." kata Anisa hampir berteriak.

"Kamu salah paham-"

"Karena kamu yang selalu membuatku salah memahaminya Ram!" kata Anisa memotong ucapan Rama.

Bayi perempuan yang tadi sempat diam kini kembali menangis. Entah kenapa saat tadi menemukan bayi itu terjatuh, Anisa menatapnya dengan iba dan penuh sayang ke arahnya. Sangat berbeda dengan tatapan benci yang sekarang diperlihatkan Anisa untuk bayi kecil itu.

Anisa maju beberapa langkah, dan setelah jaraknya cukup dekat, Anisa mengangkat wajahnya angkuh.

"Selamat untuk pernikahanmu. Bahkan selama ini kamu masih saja tak mau jujur dengan persiapan pernikahan yang mungkin sudah kamu lakukan dulu saat aku lumpuh."

"Nis.." Rama kembali memanggilnya.

Entah kenapa Anisa jadi benci Rama yang selalu memanggil namanya.

"Jika kamu sudah lebih tenang dan mau mendengar semua penjelasanku lagi. Kembalilah padaku, Nis. Aku akan menceritakan semua hal yang tidak kamu ketahui sebelumnya."

ONE MORE TIMEWhere stories live. Discover now