PROLOG

4.3K 197 4
                                    

Olympus (2000)


Petir menyambar Olympus pada siang yang cerah itu. Memang aneh, tapi di Olympus, segalanya biasa. Jika ada petir di saat-saat cerah, itu artinya Sang Dewa Langit sedang bahagia. Dan jika ada petir di saat-saat mendung atau hujan, artinya ia sedang marah. Tapi akhir-akhir ini tampaknya Zeus selalu bahagia. Petir dan guntur selalu menjadi musik latar Olympus selama lebih dari seminggu ini. Tak ada yang protes, tak ada yang berbicara. Itu semua karena Zeus adalah anak kesayangan Cronos dan Rhea.

Zeus, seperti yang diketahui oleh Olympus, adalah dewa terkuat dan terperkasa di sana setelah Cronos, ayahnya. Dewa muda itu sangat dikagumi oleh semua dewa-dewi di sana, termasuk oleh Cronos dan Rhea. Banyak kaum wanita yang jatuh cinta terhadap keperkasaannya. Tapi Zeus hanya mencintai ibunya. Selain ambisi untuk menaklukkan Olympus, hanya Rhea-lah yang ada dalam pikiran dan hatinya.

Hari ini pun sama. Zeus berlatih di padang Olympus bersama Ares, Sang Dewa Perang. Poseidon ada di sana, mengamati dua saudaranya yang sedang asyik menghunus masing-masing pedang mereka kepada yang lain.

"Ayo, agak sedikit ke kanan, saudaraku," pinta Ares kepada Zeus sambil dengan lincahnya menghindari hunusan saudaranya itu. Zeus pun tak kalah lincahnya dengan Ares saat menghunus pedangnya. Tetapi, saat mereka sedang asyiknya dengan peperangan mereka, Poseidon menyela.

"Zeus, Ares, Sang Ibu di sini! Rhea kemari!", katanya sambil berdiri merapikan pakaiannya yang tersisir jerami.

Zeus dan Ares berhenti dan sama-sama menoleh. Benar ternyata, Sang Ibu dari semua dewa datang. Mereka bertiga tunduk, memberi hormat kepada Rhea. Rhea tersenyum kepada ketiganya, tapi tatapannya yang hangat itu hanya tertuju pada Zeus. Zeus pun menyadarinya.

"Zeus, anakku, kau berkeringat sekali! Pasti dirimu berlatih terlalu keras! Ares juga..", ucapnya khawatir.

Zeus dan Ares menjadi salah tingkah. Hanya Poseidon yang tetap tegak berdiri karena namanya tak sekalipun disebut.

"Tak apa, Ibu. Sudah menjadi tugasku untuk melatih saudara-saudara tercintaku ini. Tidak perlu khawatir tentang kami," jawab Ares sambil menyeka keringatnya sendiri.

Namun secara tiba-tiba, Rhea mendatangi Zeus dan menyeka keringatnya. Hati Zeus tersentak. Ia tidak pernah menyadari kecantikan ibunya selama ini. Bibir merahnya yang begitu merekah sangat menggoda dan rambut tembaganya bersinar terang. Zeus pun tak dapat berpaling. Dan suasana di tempat itu menjadi hening. Tak ada yang berani memulai kembali percakapan hingga sesaat kemudian, Rhea pergi.

Kepergian Rhea dari arena latihan tak turut menurunkan kecepatan detak jantung Zeus. Ia menelan ludah, menelaah apa yang baru saja terjadi. Tapi tampaknya, kedua saudaranya sudah hendak kembali. Ia pun mengikuti mereka dengan pikiran-pikiran yang sangat kacau.

Tak ada kejadian-kejadian lain selama beberapa minggu terakhir ini. Walaupun ia tahu bahwa memang paling menyayanginya, tapi apa yang dilakukannya dianggap lebih dari itu menurut Zeus. Zeus sendiri tak ingin membahas topik itu dengan suadara-saudaranya. Ia lebih memilih diam. Diam tapi jatuh cinta.
Rasa cinta yang melebihi rasa cinta seorang anak kepada ibunya kini menghantui Zeus. Setiap kali bertemu Rhea, Zeus selalu ingin menciumnya. Tapi ia pun tak seharusnya melakukan hal tersebut. Cronos akan benar-benar menghukumnya, atau bahkan mengusirnya dari Olympus. Tapi, hasratnya sudah tak tertahankan lagi.

Berbulan-bulan tak ada kabar tentang Zeus atau Rhea yang muncul di Olympus. Semuanya berjalan baik-baik saja. Hanya saja, di suatu malam yang cerah, petir menyambar dengan hebatnya. Begitu dahsyat hingga mengejutkan seisi Olympus. Dan tentu saja semua tahu itu, bahwa Zeuslah penyebabnya.

Setelah sembilan bulan, kabar bahwa Rhea telah melahirkan dan Zeuslah ayahnya kembali mengejutkan Olympus, terutama Cronos. Cronos murka. Zeuspun dipanggillah ke tahtanya, diadili.

Pintu ruang tahta terbuka lebar, dengan dua penjaga besar yang setengah menyeret seseorang yang berada di tengah. Gema menyelimuti ruangan itu dan telanan ludah berbisik dari kerongkongan para penjaga di sana. Zeus ditarik maju ke arah Cronos yang sudah memerah wajahnya. Ketakutan sangat tampak dari wajah Zeus dan kebencian pun sama halnya tampak dari wajah Cronos. Atmosfer ketegangan begitu terasa saat itu. Petir dan gunturpun bergemuruh dari luar. Semua penduduk Olympus tahu bahwa Zeus akan diusir dari Olympus. Mereka pun berharap semua yang terbaik baginya.

"Kau telah melukai hatiku dan aku takkan segan-segan menghukummu," kata Cronos murka.

Zeus tidak menjawab. Ia tahu bahwa dirinya pantas untuk dihukum dan diusir dari Olympus. Tapi Cronos mengatakan sesuatu yang berada di luar pikiran Zeus, atau bahkan seluruh penduduk Olympus.

"Aku akan membuang anak terkutuk itu ke tanah para makhluk fana. Biarlah ia bertumbuh dan mati di sana sebagai fana," lanjutnya tanpa segan.

Semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut. Sangat terkejut. Tidak mungkin membuang anak dewa-dewi ke bumi. Zeus pun tak tahan lagi untuk berbicara, "Tidak! Bapa, Bapa tidak boleh membuangnya. Buang saja aku. Akulah yang pantas untuk dihukum, bukan anak itu. Bapa tidak tahu kemampuannya. Tolonglah!"

Raut wajah Cronos berubah sejenak menjadi penasaran. Katanya, "Kekuatan apa?".
"Bapa tak perlu tahu. Percaya saja kepadaku," jawab Zeus.

Cronos paham. Raut wajahnya tak lagi penasaran atau marah. Ia hanya menunjukkan raut bahwa ia telah mengambil sebuah keputusan yang takkan dapat diganggu gugat oleh siapapun, di Olympus atau di bumi.
"Buang anak itu!", perintahnya.
Zeus tak dapat melakukan apapun lagi. Semuanya akan menjadi semakin sia-sia apabila ia melawan ayahnya. Zeuspun hanya
terdiam dan menjawab, "Baiklah kalau begitu mau Bapa." Dan malam itu, Olympus tak dapat berhenti bergetar oleh bising suara petir.

Unisels AcademyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt