Lost Memory

17.4K 651 44
                                    

Didunia ini kau bisa memilih
Apa yang ingin kau ingat
Dan apa yang ingin kau lupakan
Saat ketenangan hidup
Tak lagi kau rasakan

Author POV

"Saras..saras..saras??" Nama itu terngiang berulang-ulang ditelinga Nina, dia mengernyit kesakitan. Kakinya tak bisa berdiri tegak saat lift tertutup hingga Nina harus bersandar didinding lift sambil memegang erat tangan Hasan agar dia tidak terjatuh.

"Mama, mama kenapa?" Hasan yang polos mengerti kalau ibunya sekarang tidak baik-baik saja.

Dahi Nina berkeringat dan perutnya sangat mual bersamaan dengan munculnya bayangan-bayangan yang samar diingatannya. Saat itu Nina berdiri ditengah jalan, dan wajah itu , wajah perempuan yang tak bisa dilihatnya dengan jelas sedang mengendarai mobil yang melaju tepat kearahnya. Hanya itu yang bisa dia lihat tapi bagaikan film yang diputar berulang-ulang dan semakin menyiksa Nina.

***

"Tolong..tolong jangan ganggu aku lagi!" Nina meracau lagi dalam tidurnya. Aisyah yang sudah sampai dirumah sakit setengah jam yang lalu tetap berjaga disebelah Nina. Sedangkan Hasan telah dijemput supir mereka agar dia tidur bersama Rifki saja dirumah.

"Ya Allah, kapan derita Nina akan berakhir?? Ringankanlah cobaan untuk dirinya ya Allah. Belasan tahun sudah hidupnya kacau.. Ampuni dosanya dimasa lalu, berikanlah dia kesempatannya untuk bahagia. Aamiin, ya Rabbal Alamin." Aisyah memanjatkan doa dengan air mata yang berlinang.

"Aisyah!" Fauzi menegur Aisyah yang termenung disamping Nina. Aisyah menepis tangan Fauzi yang berusaha menyentuh bahunya.

"Kau kenapa Aisyah?" tanya Fauzi yang tidak paham mengapa Aisyah tiba-tiba marah padanya.

"Seandainya waktu itu mas Fauzi tidak memaksa Iqbal untuk menceraikan Nina, mungkin saja sekarang Nina tidak akan seperti ini."

Wajah Fauzi memerah saat mendengar penuturan yang menyudutkannya dari bibir Aisyah. "Jadi kau menyalahkanku untuk semua ini?" nada bicara Fauzi jadi lebih dingin.

"Bukan itu maksudku mas, aku hanya.."

"Hanya apa?" potong Fauzi. "Sejak menikah dengan Iqbal hidup adikku tidak pernah tenang, semua orang menghinanya saat aib itu terbongkar. Almarhum ayahku tidak menitipkan Nina padaku untuk disakiti seperti ini."

"Tapi bukan berarti mas harus memisahkan mereka, apalagi saat itu Nina masih mengandung."

"Dia tidak peduli meskipun adikku mengandung. Siapa yang menemani Nina dirumahnya saat dia hamil?? Laki-laki itu, selama sebulan lebih dia pergi ke Jepang untuk bisnis saat semua media menceritakan aib mereka berdua dan Nina menanggungnya sendirian, tanpa ada tindak lanjut dari laki-laki brengs#k itu. Lalu lihat mertuanya, dia sama sekali tidak punya waktu untuk melihat apakah Nina baik-baik saja dirumah besar itu. Apa dia masih punya alasan untuk mempertahankan pernikahan mereka?? Tidak Aisyah, tidak! Kalau saja aku tidak tahu masalah itu, maka selamanya Nina akan terlantar. Dan kau juga tau, Nina sendirilah yang akhirnya memutuskan untuk bercerai, ingat itu!"

"Jadi menurut mas, apa sekarang Nina bahagia?? Dia tidak akan berfikiran untuk bercerai jika mas tidak menyebutkan kata cerai itu sekalipun didepan Nina. Mas tidak kasihan sama Nina?? Dia bahkan tidak ingat kalau dia punya satu lagi anak yang dibawa Iqbal ke Jerman. Kenapa tidak kita beri tahu saja semua dari awal mas??"

"Sudahlah Aisyah, mas lelah berdebat denganmu. Semuanya sudah berlalu dan Iqbal hanya masa lalu. Aku tidak bisa memberitahukan semuanya secara gamblang pada Nina karena itu berbahaya untuk kesehatannya. Kau harus memahami kondisinya Aisyah."

"Dan mas harus tahu, aku tidak percaya sama sekali pada semua ucapan Said. Ya Allah, maafkan aku karna telah membahas orang yang meninggal. Aku heran mas terlalu percaya pada dia, dan mengizinkannya menikahi Nina yang sedang koma. Itu sama sekali tidak masuk akal bagiku, tapi mas tidak mendengarkan pendapatku."

"Sudah Aisyah! SUDAHH! Jangan sampai kita yang bertengkar gara-gara ini."

"Arum dan Arumi, aku tidak bisa membayangkan seandainya mereka mengetahui semua ini." Aisyah tetap meluapkan fikirannya secara terang-terangan didepan Fauzi agar Fauzi mengerti akan kekeliruannya.

"Sudahlah, aku mau keluar!" Fauzi meninggalkan ruangan Nina dengan sedikit membanting pintu tanpa peduli kalau itu adalah rumah sakit.

Aisyah menahan nafas, tak pernah dia seberani ini berbicara didepan suaminya. Sementara Fauzi sedang memikirkan semua perkataan Aisyah barusan saat menuju ruangan Arum. Dia teringat saat itu Said berkata bahwa Said harus menikahi Nina agar dia bisa membawa Nina ke Asutralia untuk dirawat intensif disana dan Said bisa menjaga Nina sekalian menyelesaikan program studi S3nya disana.

"Kenapa kini aku jadi ragu kalau Nina dan Said saling mencintai?"

***

Hari sudah pagi, Aisyah pulang kerumah sebentar untuk mengurus Rifki yang harus masuk sekolah dan menjemput Hasan agar ikut kerumah sakit sedang Fauzi pun sudah berangkat untuk bekerja.

Kamar Nina sepi, tak ada orang selain dia yang belum siuman dikamar itu. Sebaliknya ada pemandangan lain dikamar Arum. Bukan Aisyah atau Fauzi, seorang laki-laki duduk terpaku disamping ranjang Arum sambil menggenggam tangan Arum dan berusaha menahan airmatanya. Baginya menangis itu hanya untuk orang cengeng, tapi rasanya dia tidak peduli lagi dengan prinsip itu, perasaannya lebih mendominasi darilada egonya saat melihat orang yang disayanginya terbaring lemah.

"Arum, bertahanlah" suaranya mulai terdengar berat sesuai dengan usianya yang sama dengan Arum. Tatapannya begitu terluka, tidak pernah dia membayangkan Arumnya yang rapuh lebih tak berdaya lagi karena penyakitnya sendiri.

***
Dikelas 11 IPA-A semua orang grasak grusuk karena ada dua siswa yang tidak masuk hari itu. Rifki dicercai banyak pertanyaan oleh teman-temannya tentang kondisi Arum. Sebagian teman yang lainnya curiga karena bersamaan dengan ketidakhadiran Arum, Aslan pun tidak hadir.

Tidak sedikit diantara mereka yang berkesimpulan kalau Arum dan Aslan Zeheb, siswa yang memiliki setengah darah turki, tapi penampilannya layaknya anak motor dan diberi gelas bad boy karena kemampuan bela dirinya yang hebat serta pribadinya yang memberontak. Para guru bahkan sampai memaklumi perangainya itu dan membiarkannya begitu saja. Mereka lelah menuntun Aslan kejalan yang benar.

Melihat kepribadian Arum dan Aslan yang jauh berbeda, mereka langsung menarik ucapan mereka. Mustahil mereka berpacaran karena Aslan mungkin saja bukan tipe Arum, dan mereka hampir tidak pernah terlihat berkomunikasi. Jadi, bisa saja Aslan kebetulan bolos hari ini.

"
Nina berjalan bergandengan dengan laki-laki yang selalu hadir dimimpinya sambil tersenyum ceria menatap Sunset yang hampir tenggelam. Laki-laki itu menghentikan langkahnya lalu menatap Nina dengan wajah sedih, tapi wajahnya hanya samar-samar, tetap seperti sebelumnya.

"Kau tahu, kaulah hartaku yang paling berharga, tapi kau sendiri yang menyuruhku pergi. Jadi, biarkan aku oergi sekarang." Nina dilanda kepanikan saat tangan hangat yang dimiliki laki-laki itu mulai melepaskan genggamannya dan bagaikan ditarik sesuatu laki-laki misterius itu semakin menjauh. Nina berteriak tapi sama sekali tidak didengarnya.

"Jangann, Jangann PERGII.. TIDAAKKKK!"

#TBC

coment dan votenya yahhh,, stop jadi silent readers. Aku butuh apresiasi dari kalian untuk menjadi ukuran dari kualitas tulisanku. Terima kasih semuany. :)

My Bride (Finished)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant