Strange Voice

20K 718 82
                                    

"Seindah apapun harapanmu, waktulah yang menjawab sampai atau tidaknya kau pada angan-angan itu. Seperti sebutir beras, tidak tau nantinya akan menjadi nasi, bubur atau kerak."

***
16 tahun kemudian..

Nina POV

Ada dimana aku sekarang? Mengapa banyak sekali orang?? Cahaya menyilaukan ini berasal darimana? Entahlah semuanya abstrak. Apa itu cahaya blitz kamera atau petir, aku tidak tahu pasti. Yang pasti, diantara kebingunganku aku merasa saat bahagia saat ini. Seseorang yang berangkulku dengan erat inilah sumber ketenanganku. Tapi sekali lagi, cahaya menyilaukan ini membuatku tak bisa menatap wajahnya, hanya samar-samar.

"Perkenalkan semuanya, dialah ISTRIKU!"

Kata-kata itu terdengar berulang-ulang ditelingaku, hingga dadaku terasa sakit. Entah mengapa aku seakan merindukan suara itu.

"Bu, bangun bu." Itu suara Mika, sontak tubuhku rasanya melayang. Semua mimpi itu berpencaran dari fikiranku hingga perlahan aku tersadar dan mendapati Mika sedang berdiri disamping ranjangku. Aku duduk dan mengambil segelas air dari atas meja yang sudah disiapkan Mika seperti setiap harinya untukku. Dia memang asisten rumah tangga yang baik.

"Mengapa Mika?? Ini masih jam 6 dan hari Ini hari Minggu. Ada apa kau membangunkanku?"

"Begini bu, dari luar saya dengar ponsel ibu berdering sejak tadi . Dan ini yang ketiga kalinya. Mungkin itu dari orang penting."

"Benarkah? Tolong ambilkan ponselku Mika, ada disamping tv."

"Iya bu." Mika segera mengambilnya dan menyerahkan ponsel itu padaku.

Saat kuperiksa ada 3 panggilan tak terjawab dari kepala penjaga asrama anakku, Bu Yessi. Kutekan tombol dial untuk melakukan video call dengannya. Fikiranku dipenuhi dengan rasa cemas, mungkin saja terjadi sesuatu dengan anakku mengingat jantungnya bermasalah.
Aku sudah melarangnya untuk tidak sekolah dikota itu, tapi ini pertama kalinya Arum sangat gigih menginginkan sesuatu. Dia sudah mengurus semuanya untuk masuk kesekolah itu dan aku tahu ketika semuanya sudah terlambat untuk dibatalkan. Dia lulus dengan nilai tertinggi, jika kularang, dia pasti sangat kecewa.

"Halo, selamat pagi bu Nina." akhirnya aku tersambung dengan bu Yessi, dan dia terlihat cemas.

"Pagi bu Yessi, ada apa? Apa Arum baik-baik saja?".

"Arum pingsan bu, dia sudah dibawa kerumah sakit."

"Astaghfirullahh!" badanku melemas mendengar kabar dari ibu Yessi. Arum, ibu tau ini akan terjadi. Seharusnya aku tak menuruti perkataannya. "Dia dirumah sakit mana?"

"Anda akan datang?"

"Tentu saja, saya akan segera memesan tiket pesawat ke Jakarta. Bu Yessi, tolong jaga anak saya. Saya takut terjadi apa-apa pada Arum." tak kusadari airmataku terjauh membayangkan kondisi Arum sekarang.

"Baik bu, ibu tenangkan diri dulu. Nanti saya kirimkan alamat rumah sakitnya."

"Baik, terima kasih banyak bu Yessi." Video callnya saya putus. Mika yang berdiri mematung disamping kuminta untuk memesankan tiket sedangkan aku menyiapkan barang-barang untuk dibawa. Aku hampir melupakan keberadaan Hasan, putra keduaku. Umurnya masih 7 tahun, tidak baik jika dia kutinggal dengan pengasuhnya dirumah. Mereka harus ikut.

Bang Fauzi dan kak Aisyah harus kuberitahu kabar ini karena rumah mereka dekat dengan rumah sakit.

***
Aku setengah berlari menuju ruang ICU dilantai 3 setelah keluar dari lift. Dari jauh, tampak bang Fauzi, kak Aisyah dan Rifki anak mereka sudah menunggu disana.

My Bride (Finished)Where stories live. Discover now