Strange Voice

Mulai dari awal
                                    

"Kak Aisyah!" aku segera memeluknya dan menangis. Rasanya aku akan hancur jika terjadi apa-apa pada Arum.

"Tenang Nina, tenang. Berdoalah, semoga Arum baik-baik saja." ujar kak Aisyah. Bag Fauzi menepuk bahuku dan mengatakan hal yang senada dengan kak Aisyah.

"Kenapa ini bisa terjadi bu?" tanyaku pada bu Yessi yang berdiri termangu didekat kami.

"Dia kelelahan karena pagi ini kami melakukan gotong royong untuk membersihkan asrama. Aku sudah melarangnya melakukan pekerjaan yang berat, namun mungkin saja dia merasa tidak enak pada yang lain makanya dia tetap mengerjakannya. Ini salah saya bu, seharusnya saya tidak membiarkannya."

"Jangan salahkan dirimu Bu Yessi. Arum memang seperti itu, dia, dia... Ya Tuhan, andai saja dia tidak keras kepala. Ini salahku, jantungnya itu lemah, Jakarta tidak cocok untuknya.

"Sudah Nina, sabarlah.. Kita tunggu hasilnya dari dokter. Lebih baik kamu duduk dulu. Jangan panik!" ucapan bang Fauzi benar. Harusnya aku bisa bersikap lebih tenang.

***
"Arum hanya kelelahan, tapi itu tidak berarti dia baik-baik saja. Kondisi jantungnya semakin parah dan harus segera dilakukan operasi. Sebelum itu, pastikan dia tidak melakukan aktivitas yang berat." ujar dokter Gary.

Dokter ini sudah lama menjadi dokter pribadi keluarga kami. 13 tahun yang lalu, dia mengaku pernah berjumpa denganku sebelumnya. Tapi aku tidak bisa mengingatnya sama sekali. Dia berteman baik dengan Said, almarhum suamiku yang juga seorang dokter ketika dia masih hidup.

"Bagaimana dengan sekolahnya Gary?"

"Dia masih bisa bersekolah, tapi untuk kegiatan seperti olahraga atau ekskul lainnya, sebaiknya jangan dulu. Atau bila perlu, sebelum operasi, kamu harus tetap menemaninya disini."

"Baiklah!" jawaban itu meluncur begitu saja dari bibirku.

"Kau yakin Nina? Tanya bang Fauzi. "Bagaimana dengan butik dan restoranmu?"

"Aku bisa mengurusnya meski tidak datang kesana. Arum lebih penting dari apapun sekarang."

"Baiklah, abang cuma heran, biasanya bisnis adalah prioritasmu."

"Jangan menyindirku bang. Aku sedang tidak mood untuk berdebat."

***

Langit sudah gelap, Arum sudah dipindahkan kekamar inap. Kami bergantian menjaganya dan malam ini bang Fauzi bersedia untuk menjaganya. Arum masih belum sadar, mungkin itu efek dari obat-obatan yang diberikan kepadanya.

"Mama, apa kak Arum masih tidur? Kapan kakak bangun?"

"Sayang mama, kak Arum pasti bangun.. Dia sedang bermimpi panjang, mungkin besok pagi kak Arum bangun. Jadi, dedek harus pulang sama mama ke tempat paman Fauzi yah, kak Rifki punya banyak mainan disana."

"Mainan???" dia terlihat bersemangat. "Asyiiikkk ada mainan. Ayo ma, cepetan,, Hasan pengen mainannya.

"Ya nak." mataku berkunang-kunang. Sedih karena tak ada tempat bersandarku saat ini. Sejak mas Said pergi, aku tidak tau mau berbagi cerita dengan siapa. Semua kutelan sendiri. Dan usaha yang diwariskan almarhum suamiku padaku, menjadikanku sibuk tak menentu.

Ingin rasanya aku berhenti dan istirahat lalu bersama dengan anak-anakku tapi itu tidak mungkin. Kuseka air mataku kemudian kami pamit kepada bang Fauzi dan dengan senyum kubawa Hasan pergi dari rumah sakit.

Kami berdiri didepan lift untuk turun kelantai 1. Saat pintu lift terbuka, hanya ada seorang wanita berdandan modis bak sosialita dan yang disampingnya mungkin saja asistennya.

"Nyonya Saras, anda harus jalan pelan-pelan."

"Saras??" mendengar nama itu semua yang sering datang ke mimpiku berkelebat dan membuat kepalaku pusing.

"Jangan MENGATURKU!" aku mendengar wanita itu berteriak kasar pada asistennya.

"Ada apa dengan diriku??? Barusan itu apa? Rasanya semua bayangan yang menggangguku selama belasan tahun itu nyata."

"Mama, mama kenapa?" Hasan memandangiku dengan cemas.

"Gak kenapa-napa sayang. Ayo kita masuk."
Wanita itu, bernama Saras. Aku masih memandanginya sebelum pintu lift benar-benar tertutup.

***
Gary POV

Aku memerhatikan Nina diam-diam dari ruanganku setelah mereka keluar. Nina menghapus airmatanya, dan setiap airmata itu keluar aku selalu merasa bersalah padanya.

"Said, kau lihat hasil perbuatanmu. Dia tidak bahagia. Dia berbeda dari Nina yang dulu sejak pertama kali aku melihatnya. Keceriaannya sudah hilang bersama ingatannya. Tapi bagaiman jika mantan suaminya, itu hadir disini?? Tidak mungkin. Belasan tahun Iqbal pergi ke Jerman. Mana mungkin dia kembali. Kalaupun dia kembali, Nina tak akan mengingatnya."

Lamunanku berhenti saat ponselku berdering dengan keras disakuku. Ternyata yang memanggil adalah istriku.

"Halo sayang!"

"Papa, mama gak tahan lagi. Si Icha gak mau diam, dia mau ketemu kamu terus. Bagaimana ini??"

"Baiklah, sebentar lagi aku pulang ma. Kamu tenangkan saja dia dulu."

"Thank you, papa. Icha, kasih kiss sama papa dulu."

"Papa?? Ummach,, cayang papa!!!"

"Ummachh, papa juga sayang Icha. Jangan rewel lagi ya sayang.."

"Iya papa. Icha gak rewel.. Bye Papa.."

"Bye!" teleponnya terputus. Kujatuhkan tubuhku keatas sofa dan menenangkan diri sejenak.

Sebelum pulang, aku memeriksa kondisi Arum. Keadaannya masih stabil dan dia masih tertidur. Anak ini, dia sangat mirip dengan Iqbal.

#tbc

Maaf bru update,, bagi yg tdk mengerti alurnya, silahkan tanya di komen yahhh

My Bride (Finished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang