Chapter 18. I Announced Myself As Mobster

2.7K 174 9
                                    



Tadinya gue udah mau nyerah, lebih baik mengulang di semester pendek dan semester genap tahun depan.

Tapi gue ngerasa, itu hal terbodoh dari diri gue. Sebegitu banyak orang lakuin buat gue, kok gue cuma gini nyerah.

Ok, misalnya pen terlepas gue gak peduli. Gue harus bisa maksimal.
Sakit biarin aja sakit, toh gue udah berpengalaman mendekati kematian. Jadi kalau cuma sakit mah gak ada apa-apanya.

Sebenarnya menyebalkan sih, di Kampus banyak yang nanyain.
Paling gue senyumin aja......toh semua orang juga mikir, kalau gue gak kelahi apalagi?

Sehabis UAS, gue penuhi janji gue ke Riau untuk berkunjung ke keluarga Om Abang dan keluarga anggotanya Rizki di Madura yang meninggal karena peristiwa itu.
Karena Rizki berkeras menemani gue, mau gak mau dia akan ikut diawasi organisasi.

Sebagai anggota Organisasi, masalah transportasi bukan hal yang sulit lagi. Tinggal gue minta tolong ke Huda, untuk atur semua.
Hingga saat itu, belum seorangpun menyadari kalau gue adalah bagian organisasi.

"Sayang....Lo jadi China banget deh!"
Rizki ketawa melihat baju yang gue kenakan.

Jas hitam dengan shanghai neck  , celana hitam, sepatu hitam dan kacamata hitam.

Gue cuma senyum.
Ini akan jadi identitas baru gue selama ikut organisasi.  Kenapa gue pilih jas hitam?
Apabila seseorang menembak gue, gak ada seorangpun menyadari.
Karena darah berwarna hampir gelap, dan akan tersamar dengan jas yang gue kenain.

Kalau dulu aku seorang pemuja warna putih, kini warna hitam akan menggantikan itu semua.

"Sayang kita ziarah khan? Kenapa pakai baju formal?"

Gue menghela nafas

"Gue menghormati orang yang menebus hidupnya demi nyawa gue."

Rizki akhirnya mengganti bajunya dengan jas yang sama dengan gue.

"Ok? Kita sekarang samaan!"

Gue senyum.

Sebenarnya dokter belum bolehin aktivitas terlalu banyak, tapi janji adalah janji bagi gue.

Dari Jogja menggunakan first flight Wings Air gue ke Surabaya.
Gak cuma Rizki, gue aja kaget. Penjemput kita dua orang, semuanya berseragam hitam kayak kita dengan postur tubuh pengawal Big Boss.

Kita sepanjang perjalanan diam, sama sekali gak ada percakapan. Mereka langsung mengantar ke rumah keluarga korban tanpa perlu gue atau Rizki kasih alamat.

Tiap gue ziarah di depan makam, gue ngerasa sedih. Periiiiih banget....!!
Kadang gue bertanya, apakah nanti saat kita berjumpa mereka di surga masih mengenali gue? Sedang dalam doa, gue selalu ingin bisa ucapkan terima kasih pada saat bertemu nanti.

Yang harus dilakukan saat ini gue harus bisa survive, untuk menghormati mereka yang mengorbankan nyawa buat gue. Itu saja!

Gue berjumpa keluarga dan ahli warisnya. Sedapat mungkin gue tegar.
Gue pasti menanyakan pertama kali mengenai sekolah anak-anaknya dan rencana kedepan nanti.

"Boss, saya disuruh Big Boss minta passport Boss!" ,bisik seorang pengawal ke gue.

Gue mengangguk, "Sekarang?"

"Iya Boss!"

Gue keluarin passport dari tas gue dan gue serahin ke dia. Ternyata diluar ada mobil menunggu, dan orang itu menyerahkan passport gue ke mobil yang menunggu tadi.

Bandung - Jogja.....The Hardest ThingDär berättelser lever. Upptäck nu