Chapter 8. Rizki......Someone From My Past

3.8K 219 34
                                    


Jujur, gue paling benci harus cerita soal keterlibatan gue dengan masalah yang katanya membongkar jaringan narkoba. Itu rasanya kaya seorang pecundang yang dianggap sebagai pahlawan.

Tapi gara-gara peristiwa itu, hidup gue jadi berubah. Suka ga suka peristiwa itu juga berpengaruh dengan hubungan antara gue dan Ardi.
Lagian gue juga kegenitan...cunihin

Dan yang bikin putus asa, gue ga tahu kapan berakhir. Mungkin hidup gue emang ditakdirkan harus nyerempet-nyerempet bahaya gitu ya.
Istilahnya kalau di sejarah, sepanjang hidup gue itu penuh masa Vivere Pericoloso.

Suatu peristiwa, gue kepengen makan di lesehan dekat Paku Alaman. Gue seneng karena hidangannya authentic traditional. Tehnya teh tubruk, minumnya pake gula batu. Kalau pesen roti bakar, roti bakarnya isi mentega dan gula pasir, ga pakai selai atau mesjes. Pisang bakarnya yaaaa bakar gitu aja.

Gue ajak Rizki dan tentunya Mas Handoko akan mengawal kita. Tapi gue pengen naik motor. Mmmm...menurut gue, di Jogja itu sangat nyaman kalau naik sepeda kayuh atau motor.

Mereka terpaksa mengalah ikut kemauan gue naik motor. Gue sebenarnya sih pengen bareng Rizki, tapi motornya jenis motor egois, yang dipake seorang aja.
Yang dia punya Ducati Superbike 749 R.
Terpaksa deh bareng Mas Handoko naik Yamaha RX King nya. Kalau di Jakarta, motor spesialis jambret.

Sepulang dari Pakualaman, gue lewat Kusuma Negara dan berbelok lewat kantor Walikota. Gue bawa RX King nya Mas Ndoko dengan kecepatan 40 km/jam. Niatan gue jalan pelan, mau menikmati malam sambil jalan bersebelahan dengan motor Rizki. Lagian jalanan juga sepi, hampir tidak ada yang lewat.

Tiba-tiba kita dibuntuti lima sepeda motor dengan knalpot yang memekakkan telinga. Mereka berusaha memepet kita. Yang gue kaget, setiap pembonceng membawa parang. Gue pikir sih gara-gara Ducati-nya Rizki.
Se-Indonesia yang punya paling berapa orang sih. Ga lebih dari lima jari mungkin.
Otomatis gue dan Rizki mulai memacu motor.

Menyusul kemudian sebuah mobil pick up bak terbuka, isinya banyak orang, menabraki dan menyerempet motor yang membututi kita tadi.
Gue berhenti melihat dari jauh kejadian itu, disusul Rizki.

Penumpang pick up berhamburan keluar, menghajar pemotor-pemotor itu.

"Yok ah...kita pulang?"

"Kita ga nolong mereka?" tanya gue

"Lo sinting? Mau nambah urusan lagi? Urusan lo aja belum kelar!!
Ayook pulang...bukan urusan kita!!" teriak Rizki.

Gue dan Mas Ndoko masih ngelihat adegan bak-buk itu.

Rizki menggamit tangan gue

"Pulang...!!!!!
Kalau penasaran, besok ada di Kedaulatan Rakyat apa Tribun Jogja. Kalau belum ada, berarti di koran online."

Gue starter sepeda motor, mengikuti Rizki yang udah jalan didepan gue.

Paginya, Mas Dony datang ke kos. Herannya Mas Dony ngobrol serius dan seperti berbisik dengan Rizki di halaman depan. Seakan ada hal rahasia yang dibicarakan mereka.
Sementara gue melihat mereka dari kamar gue di lantai atas.

Mas Dony masuk kos dan ke kamar gue, diikuti Rizki.

"Radit, lo ikut gue ke kantor Polisi ketemu Om Satrio. Jangan lupa bawa data yang ada di lo!"

Data? Data apaan? Gue mikir agak lama.

"Om Satrio te saha?"

"Om gue yang di kepolisian."

Polisi? Ribeut amat yah. Bentar...data..data...apaan? Jangan-jangan flash disk Bang Rommy yang kebawa gue, yang gue pikir korek api?
Gue ambil flash disk di laci.

Bandung - Jogja.....The Hardest ThingDär berättelser lever. Upptäck nu