Chapter 3. End of Holiday, End of "Fucking" Love

4.4K 252 35
                                    



Sepulang dari Medan adalah fase berlibur sambil menunggu pendaftaran ulang dan cari info kos.

Tapi liburan gue berasa ga bermanfaat banget di fase itu. Menunggu daftar ulang, ga ada banyak kegiatan dan menanggapi keluhan yang ga berguna. Siapa lagi kalau bukan keluhannya Frisca.

Cuma gue ngerasa beruntung punya pacar cowo. Gini yang diomongin Ardi:

"Kamu pasti tertekan dengan sikap kita berdua ya yang?
Aku minta maaf. Aku berusaha realistis dan berdamai dengan masalah hubungan kita. Aku juga tahu, kamu ga bakalan bisa tiap hari coli. Dan aku tahu kebutuhan kamu. Go ahead! Asal aku ga tahu dan jangan jadiin pacar, titik!"

"Aku cinta kamu, bahkan lebih. Sifat posesifku hanya lebih pada menginginkan hati mu! Jangan kamu bikin aku berbagi itu dengan orang lain."

Gue ngerasa pacaran ma cowo ga rempong-rempong amat.

Lah ini Frisca, kalau ga nangis ya diem. Telephone gue cuma ngomongin masalah itu mulu.

Listen carefully ya....Gue ogah kuliah di luar negeri dengan pertimbangan gue masih punya adek yang masih butuh biaya.

Kalaupun gue ambil beasiswa, berarti baru tahun depan. Tapi gue juga ogah kali kuliah di Australia.
Gue dari dulu pengen jadi Arsitek, kalau misal kuliah di luar juga gue ambil juga di Oxford, Sorborne atau Delf.
Di Eropa gue bisa belajar banyak, karena disana gudang Arsitek kelas dunia.
Berarti tetep aja jauh dari Frisca.

Argumen itu terus yang gue omongin.

"Radit, gue ga kuat jarak jauh. Gue bakal kepikiran terus lo di Jogja bakal ketemu cewe. Terus kamu having sex with her."

Naah khaaan pola pikirnya sama kaya Ardi. Kayanya gue itu addict banget sama having sex, sexual intercourse, kopulasi, senggama, ngentot.......

Gue putus asa, kaya yang dipikirin Friska otak gue itu memek semua, sementara dipikiran Ardi, otak gue itu isinya kontol ma anus semua.

"Radit...kalau kita putus aja gimana?"

"Ya udah kalau mau lo gitu."

"Tapi mungkin ga kita balikan lagi?"
Ini penyakit cewe yaaa, udah mutusin masih juga minta peluang balik.

"Yaaaa gue ga tahu Fris."

Nangis lagiiiiii.....

Empat hari sebelum keberangkatannya, kita resmi putus. Gue udah bicara juga dengan Papa dan Mamanya. Yaaa demi sopan santun aja sih.
Lagian orang tuanya juga nganggep kita cuma cinta monyet.

Hmm mungkin gue menyesal dan sedih juga putus dengan Frisca. Sebelum gue kenal dengan Ardi dan akhirnya mencintai Ardi, Frisca adalah gambaran perempuan ideal menurut gue. Ga ribet dan pinter. Dia juga ga aneh-aneh pergaulannya dan sedikit konservatif.

Yang jelas dia pernah ada di hati gue. Gue ga pernah bilang siapapun kalau gue nangis saat itu. Itu pertama kali gue nangis dalam artian terisak-isak.
Itu juga gue nangis di dalam gereja, biar ga dilihat orang banyak dan orang ga berpikir aneh.

Satu-satunya orang yang lega gue putus dengan Frisca mungkin Ardi.

*******

"Yang, kelasku ngajak perpisahan di Lembang...Yang ikut ya?" ajak gue.

"Engga ah, malu...lagian aku ga kenal."

"Lah dirumah sendirian gimana dong?" Mas Sony paling sibuk sama bf nya. Mas Dhika masih mudik di Jogja.
Adek masih di Medan.

"Oh iya...Mas Angga khan bisa ambil cuti buat nganter aku cari kos di Bandung."

Bandung - Jogja.....The Hardest ThingDär berättelser lever. Upptäck nu