Chapter 14a. Art3Logic....That's We Are - Jakarta

3.6K 186 8
                                    


Hmmm....katanya Rizki pakai 1st flight.
Ini udah jam 9 pagi...HP ga aktif lagi.
Gimana Pak Jumadi bisa ketemu dia di bandara?

Buat Tuan Besar Rizki, dijemputnya pakai Velfire, Mama ngalah pakai Innova sekalian nganter adek sekolah. Soalnya yang Mercedes-Benz dipakai Kak Gita yang sibuk test masuk kerja.

Gue ambil remote mau nyalain TV, ada bunyi bel mobil di depan.
Gue buru-buru lari ke depan.
Gerbang dibukain petugas cleaning service yang biasa rutin bersihin rumah.
Saat mobil masuk carport gue udah ga sabar lihat Rizki turun.

Begitu dia turun, gue langsung peluk dia dan cium bibirnya.

"Nyebelin...HP kagak aktif!"

"Lowbatt sayaaaang."

"Terus ketemunya Pak Jumadi?"

"Dia udah dipintu lobby."

"Mau sarapan apa sayang?"

"Tadi di pesawat dikasih makan kok. Masih  kenyang."

"Mama tadi masakin hutspot met klapstuk tadi buat sayang. Aku suapin ya?"

Dia mengangguk.

Tiba-tiba ada bunyi motor masuk ke garasi, trus suara mesin digas.

"Hai sayaaang...!" Gue kaget dan seneng dong.

Gue dan Rizki menyambutnya dengan ciuman bibir.

"Katanya siang?" tanya gue

"Kangeen....!"

Kalau Ardi bilang kangen, kita udah tahu...ujung-ujungnya pengen dientot.

"Mau yang lurus apa yang bengkok?" goda Rizki.

Maksud Rizki sih gue tahu, dia mau bikin cemburu gue.

"Yang lurus dulu, ronde berikutnya yang bengkok." Ardi sambil tersenyum.

Sial ini anak udah jadi maniak.

*******

Jam 11 siang, kami sudah di Hotel Dharmawangsa. Giant Black Booth sudah terpasang rapi, begitu pula karya-karya kami maupun lampu-lampunya. Semua sudah siap, termasuk goody bag dan isi di dalamnya.

Gue kaget dengan harga-harga yang tercantum dibawah karya kami. Yang termurah 65 juta.
O My Holy Mother......

Ternyata ga cuma gue yang kaget. Ga usah tanya lagi Ardi, udah pasti kagetnya kayak apa.
Ini Rizki, yang anaknya orang tajir melintir, duit juga gak sayang buat jadi kubangan kerbau, itu aja kaget.
Jujur, saat itu kita merasa terbebankan.

Belum lagi siang itu, kita terima tamu seorang kurator.
Dia, kita persilahkan untuk melihat seluruh karya yang ditampilkan. Dia melihat satu persatu karya dan dia cocokkan dengan katalog.
Dia teliti semua bahan, kadang bertanya pada kita.

Setelah puas berkeliling, kita jamu makan siang.

"Mas-mas ini kreatif, masih muda sudah berani bikin pameran karya seni.
Kalau pada umumnya sih, mereka rata-rata diusia yaaaa...24-an tahun. Itu juga mereka sudah belajar di Sekolah Seni."

"Terima Kasih Pak."

"Cuma begini.....Karya anda itu mungkin bisa dikategorikan Pop, yaaah mungkin seperti street art semacamnya. Baguus...sih bagus..
Tapi....
Gini loh Mas, karya anda itu belum masuk sebagai karya yang bisa jadi investasi....bla...bla...."

Bandung - Jogja.....The Hardest ThingWo Geschichten leben. Entdecke jetzt