Chapter 9. Small Part of Missing Puzzle

Start from the beginning
                                    

"Sejak saat itu lo hapus memori tentang gue?"

"Setiap kepedihan, gue pasti hapus, karena gue ga ingin ingat lagi."

Dia menghela nafas panjang dan mengeluarkan sepucuk surat.

"Baca Radit, ini surat terakhir dari lo."

Gue tersenyum sambil membaca ungkapan seorang anak kelas 5 SD. Disitu gue cerita, diajak Papa ke Singapore pertama kali. Gue cerita apa saja yang gue lakuin dan lihat.

"Radit sayang, orang tua gue pindah ke rumah baru dari kontrakan saat gue 6 SD. Selama kelas 6 SD sampai kelas 8, gue selalu ke rumah kontrakan itu. Gue selalu menanyakan ada surat ga dari Raditya."

Gue menjadi tercenung, sampai segitunya Rizki.

"Lo adalah teman terbaik gue dari kecil, gue pasti mencari lo."

Dia menghela nafas panjang lagi.

"Lo udah dengar  khan cerita Mama? Gue tambahin apa yang gue lihat. Gue dan sopir, jemput Mama di Bandara, sepulang dari Jakarta, waktu cari Mama lo. Mata Mama sembab. Begitu masuk mobil, Mama menangis. Kadang memanggil Cici, kadang memanggil Radit. Ada apa dengan Raditya? Ada perasaan bersalah dan malu dengan lo."

Dia kemudian menyalakan rokok.

"Mama menangis hingga keesokan harinya. Siapapun ga bisa tenangin dirinya. Mungkin Mama tahu sebenarnya, karena Mama itu pinter. Tapi enggan untuk bicara dengan Papa.

Gue menyalakan rokok.

"Beberapa saat lalu gue ngantar Mama ke Bandara waktu mau ke London, Mama cerita kalau udah bertemu Cici dan cerita kalau Radit udah SMA, pengen kuliah di Jogja, ngambil Arsitek. "

Dia melipat kaki sambil menghela nafas lagi.

"Gue ubah semua tujuan kuliah gue. Gue tadinya pengen masuk Nanyang, akhirnya gue putusin ambil Jogja, gue pengen tepati janji gue ke Radit. Toh gue juga pengen jadi dokter gigi."

Dia mendongak seakan mau mengingat

"Gue dikenalin Oka ke lo, dibilang ada gay ganteng, bisa gue coba. Terbersit pun kaga kalau itu lo. Walaupun namanya Radit sama dengan Radit teman masa kecil gue."

Gue tersenyum, sialan Oka...

"Apa yang gue bilang sebelumnya emang bener. Habis ngentot lo, gue ajak lo jadi bf, karena gue single."

"Gue terbangun dengar ribut-ribut di kos lo. Tapi kamar dikunci dari luar. Gue nyalain lampu, siapa tahu lo ada kunci duplikat. Saat gue obrak-abrik meja, ada foto gue masa kecil.
Lo tahu? Gue lemes. Apa yang barusan gue lakuin? Ini Radit yang selama ini gue cari."

"Lo inget khan, anak satu kos rame-rame ke Rumah Sakit. Gue takut lo mati. Gue takut ketemu lo cuma hitungan jam dan menit aja. Gue doa, lo jangan mati."

"Dengar cerita lo duel, gue seakan ga percaya. Kenapa Radit bisa jadi gay? Andaipun sekedar curious kaya gue, harusnya lo itu top."

"Lo tahu, gue pedih awalnya. Siapa yang ngerusak Radit? Raditnya gue? Saat lo siuman, gue pengen lihat mata lo. Tapi gue ga nemu sinar pedih. Lo bahkan tersenyum."

"Kenapa Radit begini? Gue ga bisa lagi bedain sayang, engga rela, ingin memiliki, ingin melindungi atau cinta. Gue pengen raih lo, gue pengen peluk lo yang lama. Radit yang pernah berlari mengejar Vespa Papa gue."

"Semakin lama bersama lo di Rumah Sakit, semakin gue ingin memiliki lo."

"Radit, Mama lo banyak banget bantu keuangan keluarga gue saat di Jakarta. Mama lo beliin susu buat kakak dan gue. Mama lo dandanin kakak dan gue. Gue dikembar sama lo. Banyak banget subsidi yang Mama lo beri.  Bahkan kata orang tua gue, Papa sama Mama lo kasih bantuan modal usaha saat kita hidup di Bali. Sekarang waktu gue harus melindungi lo dan keluarga lo."

Gue menarik nafas panjang.

" Kenapa harus lindungi gue? Sebenarnya lo ga perlu sampai segitunya."

"Radit, hutang uang dari orang tua gue bisa dibayar. Tapi hutang budi? Bagaimana caranya? Mama gue aja bilang begitu banyak subsidi yang diberikan orang tua lo, sampai kita bisa jadi begini."

Gue ceritain detail dari mulai Mas Dhika sebagai pemicu awal hingga mendapatkan Ardi.

"Engga Dit, gue rasa bukan itu. Ada hal yang ga lo sadari tiba-tiba muncul. Lo harusnya top Radit....! That's kind of curious.

Gue geleng-geleng kepala

"Child abuse....!"

Gue lihat muka Rizki berubah merah padam. Dia terlihat sangat marah. Gue usap tangannya.

"Udah cukup Rizki. Biarlah masa lalu gue terkubur, ini gue sekarang."

*******

Gue sendiri ga tahu apa gue terlahir sebagai gay atau bisexual atau sebenarnya straight?
Kalau benar, someone abused me, apakah itu bisa menjadikan gue jadi gay?
Apakah cukup dengan mengkambing hitamkan peristiwa itu, menjadi landasan pembenaran gue jadi gay?

Jujur aja, gue ngerasa nikmat saat menjadi top maupun bottom. Tapi saat gue menjadi bottom, it feels like ecstasy. Something made me trance maybe.

Saat gue dengan kesadaran penuh mencoba jadi bottom, gue setelahnya ingin bunuh diri, pengen menyakiti diri. Ada rasa pedih yang gue pernah rasain sama, tapi entah apa, kapan?

Hanya saat gue bersama Ardi waktu itu gue menjadi ikhlas, karena yang gue rasain Ardi memberi ketenangan. Ardi ga egois, dia memberi rasa yang bukan sekedar nafsu.

Aneh ya? Gue terlalu absurd, naif

Gue mencoba berdamai dengan kondisi gue sekarang. Berusaha ikhlas. Gue masih punya cita-cita lihat adek gue bahagia. Setelah itu gue mati juga ga pa pa.

Apakah gue bisa mencintai wanita? Cinta itu apa sih? Itu dulu yang pengen gue tahu.
Tapi kalau ditanya, apa gue bisa berhubungan seks dengan wanita? Gue bilang bisa.
Apakah gue menikmatinya? Sangaaaat menikmati.
Apakah gue bisa mencapai ecstasy dengan wanita? Bisa bangeeet...

Tapi kenapa gue juga dengan cowo?
Mungkin hal clichè adalah gue ga suka ribet, ga suka drama.
Bagaimana dengan sexual intercourse dengan cowo? kadang gue ngerasa terlindungi.
Point utama adalah saat berhubungan seksual dengan cowo, gue ngerasa aman dan terlindungi.

Gue memang pelindung, tapi ada kalanya gue lelah dan gue ingin dilindungi juga.

OK? Itu perasaan gue.
I don't wanna blaming someone or people.
Jika kejadian child abused yang menimpa gue dulu, gue ga ingin mengingat. Gue adalah gue sekarang.

Gue belum tahu apakah gue memafkan kejadian lalu itu. Karena gue memang sudah menghapus memori itu semua.
Gue lebih tepatnya mengubur dalam-dalam.
Sambil berharap, jangan ada seorangpun menggali bahkan mengeluarkannya.

Memang, apa yang diungkapkan Rizki tadi, seperti puzzle-puzzle, yang sengaja gue sembunyikan atau hilangkan. Dia membantu gue menyusun puzzle-puzzle itu. Walaupun tidak semuanya, tapi inilah gambaran hidup gue.

Masih ada lubangnya memang, tetapi sudah tercipta gambar bukan?

Bandung - Jogja.....The Hardest ThingWhere stories live. Discover now